Di desa saya, seperti halnya desa-desa lain tempat kami, para guru kontrak untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, listrik adalah barang langka dan merupakan sebuah kemewahan. Perusahaan Listrik Negara belum sanggup menjangkau seluruh daerah. Di Tonte, tempat tugas saya yang pertama, listrik didapat dari lampu TS (Tenaga Surya) sumbangan pemerintah. Lampu itu dilengkapi alat untuk menyimpan daya sehingga pada malam hari warga yang dipercaya untuk menyimpan alat tersebut di rumahnya dapat menyalakan lampu. Warga lain dapat menumpang charge handphone dan membayar sekadarnya, 2-3 ribu rupiah.
Sebelum lampu TS dikenal, warga menggunakan pelita sebagai penerang. Sebuah kaleng susu bekas atau bekas kaleng cat diisi minyak tanah, seutas sumbu dimasukkan ke dalam pipa besi pendek lalu dibenamkan ke dalam kaleng. Itulah sumber penerang warga Tonte dan penduduk NTT pedesaan pada umumnya.
Setahu saya, hanya Ibu Guru Anto, salah satu rekan kerja saya di sekolah, yang menyimpan alat itu. Hanya saja, beberapa hari kemudian, ketika saya baru selesai menelepon Kakak di satu spot menelepon dekat rumah, saya menemukan sebuah papan kayu tipis yang dipakukan ke sebatang pohon kelapa, yang berbunyi: "cas hape, 15 rb". Saya mengira telah salah membaca. Lima belas ribu untuk charge hp?!?!?!
Bapa Obet, bapak angkat saya, meyakinkan saya bahwa saya tidak salah membaca. Ia menyarankan dengan sangat untuk tidak usah membuang uang sebanyak itu. Ibu Anto toh tidak pernah keberatan memberikan jasa charge gratis untuk saya.
Dalam beberapa hari berikutnya, Bapa Obet terlihat lebih banyak berpikir dan bekerja daripada sebelumnya. Setelah beberapa saat seperti itu, ia berkata pada saya bahwa ia sedang mengumpulkan uang untuk membeli dinamo diesel baru karena dinamo yang lama rusak dan telah terlalu sering diperbaiki. Ia merasa prihatin jika saya tidak bisa mengajar dengan baik tanpa listrik.
Harga dinamo baru berkekuatan 3 kilo di Kalabahi mencapai 1,5-1,8 juta rupiah. Saya yang tidak mengerti mesin apalagi harga komponen-komponennya hanya mengangguk.
Setelah beberapa minggu giat mengumpulkan kemiri, menjemur, dan menitik (memukulkan biji kemiri pada sebuah batu dengan bantuan alat khusus untuk memisahkan isi dengan kukitnya yang keras), Bapa Obet berhasil mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkan. Tapi, sebelum ia sempat pergi ke kota untuk membeli dinamo baru, Bapa Nathan, Ketua Komite Sekolah, datang bertamu ke rumah. Bapa Obet menyampaikan niatnya membeli dinamo untuk kehutuhan saya. Rupanya, Bapa Nathan datang ke rumah karena memang ingin membicarakan hal itu.
Sekolah saya juga memiliki sebuah mesin generator-set dan sebuah mesin diesel. Keduanya rusak karena tidak dirawat dengan baik. Dinamo pada mesin diesel sekolah masih dalam keadaan baik dan Bapa Nathan berpikiran untuk meminjamkan dinamo tersebut pada Bapa Obet sehingga saya bisa mengerjakan administrasi sekolah dengan laptop. Saya girang buka main.
Dalam beberapa hari berikutnya, Bapa Obet dan beberapa lelaki yang mengerti permesinan, tampak sibuk mengutak-atik mesin diesel. Setelah beberapa kali percobaan yang gagal dan beberapa kali girang sesaat lalu kecewa, mesin diesel di rumah akhirnya benar-benar meraung dengan keras, mengguncang kesunyian dusun. Banyak orang datang ke rumah silih-berganti hanya untuk menyaksikan bagaimana Bapa Obet mengutak-atik cd player yang mengalunkan lagu-lagu bernuansa natal. Saat itu, kami sudah mulai memasuki Desember. Natal adalah alasan lain ia ingin segera memperbaiki mesin diesel. Ia tak ingin kami berada dalam kegelapan saat Malam Kudus.
Saya menari-nari seirama lagu-lagu natal yang diputar sangar keras oleh Bapa Obet hingga memekakkan telinga, tak peduli Mama Tina, mama angkat saya, istri Bapa Obet, menertawakan saya. Selamat tinggal, Kegelapan. Selamat tinggal, Bosan. Saya bernyanyi dalam hati.
Saat malam benar-benar tiba, banyak orang berdatangan ke rumah, terutama anak-anak dan remaja. Umumnya, mereka adalah murid-murid di sekolah saya, tapi ada juga anak-anak di bawah usia sekolah dan remaja usia SMA. Rupanya, Bapa Obet memang biasa menyalakan televisi setiap malam, tentunya jika mesinnya tidak rusak. Mereka yang datang menonton membayar sebesar seribu rupiah per orang. Penonton pun duduk bergeletakan di setiap senti lantai ruang depan hingga malam. Rata-rata tontonannya sinetron. Meskipun laki-laki, bapa saya ini juga gemar menonton sinetron dan telah menjadi peraturan tak tertulis, penonton harus rela mengikuti selera pemegang remote. Tayangan sinetron tidak akan laku hanya jika ada pertandingan sepak bola.
Charger laptop, handphone, dan mp3 player milik saya berjejer rapi, menyedot listrik dengan rakus setelah sekian lama kehausan.
Di Dusun Kolatuku, tempat tugas saya yang baru, keadaannya tidak jauh berbeda, bahkan lebih tragis. Warga memang memiliki kesadaran lebih tinggi untuk memiliki sebuah mesin diesel untuk dipakai bersama. Maka, warga mengumpulkan uang lalu membeli sebuah mesin diesel untuk menerangi seluruh kampung. Hanya saja, Kolatuku baru mulai membuka jalan sehingga alat transportasi masih sangat jarang lalu-lalang di kampung. Karenanya, distribusi solar pun tersendat.
Saat saya baru datang ke dusun ini, warga telah dua bulan tidak menikmati listrik karena ketiadaan solar. Beberapa minggu setelah saya datang, bapa/kakak angkat saya, Kaka Amos, pergi ke Kalabahi selama beberapa saat. Ketika kembali, ia menempuh jalur darat dengan menumpang sebuah oto (mobil). Ada kejutan di dalam oto itu: sedrum penuh solar untuk mesin diesel kampung!
Tak kurang dari 2000 liter solar tersimpan di dalamnya. Cukup untuk menerangi kampung selama sebulan.
Saya tidak tahu, penggunaan listrik di kampung ini telah dijadwal. Rabu, Sabtu, dan Minggu, adalah hari-hari terang-benderang dan bising dengan berbagai aliran lagu di beberapa rumah. Di beberapa rumah tertentu, salah satunya rumah Kaka Amos, warga berkumpul untuk menonton televisi.
Tontonan favorit warga di kampung ini bukanlah sinetron seperti di Tonte. Di kampung ini, warga doyan menonton video-clip artis lokal Alor maupun Kupang dan film "Tete'Manis". Film yang saya sebutkan ini bukanlah judul yang sebenarnya.
Sebenarnya, film yang dimaksud adalah film yang menceritakan tentang kelahiran Yesus Kristus dan perjalanan hidup-Nya. Saya sendiri awalnya kurang mengerti dan benar-benar kebingungan dengan penamaan judul film itu. Setelah mendesak Guru Ben, kawan guru saya yang orang lokal, saya mendapat penjelasan.
Jadi, di daerah ini, orang-orang menyebut "Tete' Manis" untuk "menghaluskan" menyebut Tuhan Yesus jika membujuk anak kecil, terutama yang masih balita, terutama yang sesekali masih suka menyusu meski sudah mulai agak besar. Orang-orang tua biasa berkata, "Jangan nakal-nakal, nanti Tete' Manis marah." Logikanya, masak Tuhan marah-marah? Nah, karenanya, para orang tua tidak menyebutkan nama Tuhan, melainkan dengan sebutan yang unik itu.
Baik, kembali ke jalan yang benar. Meski video clip-video clip dan film "Tete' Manis" itu telah diputar dan ditonton ribuan kali, warga tetap senang menontonnya. Atau karena tidak ada tontonan lainkah?
Karenanya, setiap listrik menyala dan saya tidak ada pekerjaan, saya akan memutarkan film-film yang ada di laptop saya. Untung sebelumnya saya sempat berburu banyak film dari Pepi, salah satu teman saya. Ia telah merampok banyak film dari setiap teman yang datang ke sekretariat dan saya merampok hasil rampokannya, sehingga koleksi film saya cukup banyak meski telah melalui penyortiran besar-besaran.
Film yang paling disukai warga adalah film-film laga. Mungkin ini karena pengaruh watak orang Indonesia Timur yang cenderung keras. Saya juga hanya bisa berspekulasi. Meski demikian, penonton mengeluh bosan ketika saya memutarkan Ninja Asassin, karena menurut mereka aksi laganya kurang banyak. Begitu saya menggantinya dengan Transformer 3, keluhan-keluhan itu berganti dengan seruan-seruan kagum nan heboh. Penonton duduk dengan tegang menikmati setiap adegan yang memang lebih banyak tempurnya dibandingkan dengan Ninja Asassin. Apalagi, mobil-mobil di film ini bisa berubah-ubah bentuk, berbicara, bahkan "baku tengkar".
Ketika pada kesempatan lain saya memutarkan film satu dari trilogi Merah-Putih yang menjadi salah satu film favorit saya karena ada Dony Alamsyah-nya (ehem-ehem), penonton tertegun meski adegan perangnya tidak terlalu banyak. Mungkin karena ini film Indonesia yang dialognya bisa dimengerti dengan cepat tanpa harus repot membaca subtitle seperti saat menonton Ninja Asassin.
Meski bagi saya NA sangat keren, jelas film ini kurang cocok saya tunjukkan pada orang-orang ini karena mengandung beberapa kelemahan. Pertama, rata-rata penduduk dusun memiliki kecepatan membaca yang rendah dan NA adalah film laga yang lebih sering bicara daripada bertempur. Kedua, ya itu tadi, aksi laganya kurang banyak. Ketiga, alurnya lambat sehingga penonton keburu mengantuk dukuan. Keempat, temanya agak berat bagi orang-orang ini. Setelah saya memperhatikan, warga tidak terlalu peduli dengan jalan cerita. Mereka hanya peduli pada adegan pertarungan para aktor. Semakin banyak, semakin baik.
Setiap kali saya menyaksikan warga menonton, saya memperhatikan ekspresi mereka, reaksi mereka pada setiap adegan, ketakjuban mereka, dan binar mata mereka. Setiap kali itu pula, saya merasa sesak di dada karena simpati. Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dalam batin saya, benarkah kami satu Indonesia? Mengapa kita tega meninggalkan mereka, saudara kita, demikian jauh?
0 comments:
Post a Comment