Pages

Monday, 28 April 2014

Telimbai

     Siang kemarin, sepulang sekolah,  saya pergi ke ladang milik salah satu murid saya, Eli Beliem. Beberapa minggu belakangan ini, kami memasuki masa panen padi. Warga secara bergotong-royong "pungut padi" di kebun. Hari ini giliran keluarga Eli Beliem.
     Saya sudah pernah ikut pungut padi sebelumnya, sehingga dengan segera "meluruh" bulir-bulir padi yang telah menguning dan meletakkannya di bakul kecil yang telah saya bawa dari rumah.
     Tidak sulit melakukannya. Cukup menggenggam padi dari pangkal, lalu menariknya hingga bulir-bulirnya terlepas dan tertinggal dalam genggaman. Jika belum terbiasa, tangan akan tergores serat dan kulit padi. Apalagi, jika yang diluruh adalah jenis "padi besi". Ada dua jenis padi yang dikenal warga: padi halus dan padi besi. Perbedaannya terletak pada ketebalan kulit dan ketajaman serat pada ujung bilir padi. Keluarga Eli Beliem menanam jenis padi halus, sehingga tangan tidak terlalu sakit saat meluruh padi.
     Bulir-bulir ini kemudian dikumpulkan dalam bakul yang lebih besar dan diangkut ke satu tempat yang telah ditentukan. Karena Dusun Kolatuku terletak di daerah perbukitan dengan banyak jurang dan batu karang, sangat sulit membuat sawah. Alhasil,warga menanam padi maupun tanaman pokok lainnya di lereng-lereng yang rerjal dengan derajat kemiringan yang mencemaskan.
     Jika semua padi sudah terpungut, padi dalam karung-karung ini akan dikumpulkan ke satu tempat untuk diinjak nantinya. Pertama,kami menyiapkan satu lahan yang akan kami gunakan sebagai tempat Telimbai. Lalu, kami menyiapkan beberapa pelepah pisang sebagai alas paling bawah dan menutupinya dengan tikar lebar dari anyaman lontar.
     Proses injak padi/telimbai ini berlangsung sepanjang siang. Menjelang malam, bulir-bulir padi yang telah dikumpulkan dalam bakul-bakul besar, ditumpahkan di atas tikar. Beberapa orang akan mulai menginjak-injak padi dengan gerakan yang seirama sambil bernyanyi lagu Telimbai. Proses menginjak-injak ini dilakukan untuk merontokkan butir padi dari tangkai yang tercabut saat proses petik. Jadi, pada dasarnya Telimbai ini sama dengan tradisi panen padi di Jawa: padi diambil lalu dipisahkan dari tangkainya. Orang-orang yang membantu panen juga mendapat imbalan berupa jamuan makan dan sirih-pinang. Ketika pulang, bakul kecil yang dibawa dari rumah untuk menampung padi selama proses pemetikan, akan diisi penuh-penuh untuk dibawa pulang.
     Usai diinjak, butir padi diaduk-aduk sedemikian rupa untuk dipisahkan dari batangnya. Butiran-butiran tersebut lantas dikipasi dengan kipas besar untuk memisahkan dedak dan kulit-kulit padi yang kosong. Barulah, kemudian butiran tersebut diukur dengan ukuran blek bekas kue berukuran besar. Setiap 10 blek yang terkumpul,1 blek akan diserahkan kepada gereja untuk "penyerahan berkat", semacam sedekah atau zakat.
     Telimbai bisa berlangsung sepanjang malam sampai pagi tiba, tergantung banyaknya padi yang harus terkumpul. Jika ladangnya tidak besar/luas, padi yang dipanen tidak terlalu banyak. Seperti semalam, kami selesai telimbai sekitar pukul 2 dini hari, karena jumlah padi yang dipanen tidak terlalu banyak.
     Saya sangat menikmati kegiatan ini,meski mengantuk berat menjelang pukul 1 dini hari. Pada pukul 6 pagi, saya terbangun dan agak terkejut mendapati diri tertidur di semak-semak. Perlu waktu beberapa menit untuk mengingatkan saya ada di mana dan mengapa saya bisa berada di sana. Dan, meskipun masih mengantuk, lelah, dan merasa sakit di sekujur badan, saya tetap hadir di sekolah untuk mengajar....

Sunday, 27 April 2014

Pertanggungjawaban (1)

     Saya telah ditegur oleh kakak lelaki saya tentang so many excuse atas tulisan saya yang mulai jarang muncul di blog ini. Jadi, inilah pertanggungjawaban saya atas kegiatan maupun peristiwa yang saya alami selama di Kolatuku.

Jumat, 14 Maret 2014
     Besok, saya genap 3 minggu tinggal di Dusun Kolatuku ini. Tak sekalipun terlintas keinginan meninggalkan dusun ini untuk sekadar berlibur ke Kota Kalabahi. Kalaupun saya ingin ke Kalabahi, itu bukan karena saya bosan di sini. Gaji yang dijanjikan belum juga turun hingga saat ini. Saya perlu segera membeli handphone android untuk memudahkan saya mengakses internet dan melakukan komunikasi murah-meriah. Handphone saya yang unyu-unyu itu terbukti boros pulsa.
     Listrik masih menjadi salah satu hal yang sulit didapat di sini. Tapi, sejauh ini saya sanggup mengatasinya. Ada banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini, sehingga kecanduan saya pada laptop dan internet bisa dialihkan.
     Kadang, saya main-main ke rumah warga, hanya duduk mengobrol, minum teh, bakar jagung, atau menikmati panganan khas daerah Kolatuku. Kemarin, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid saya, setelah mendengar informasi dari warga bahwa ayah Jonatan adalah penari Cakalele paling TOP di kampung.
     Bila tidak, saya patroli keliling dusun, mengawasi murid-murid untuk mengingatkan mereka belajar atau menegur bila ada yang berkelahi atau memaki. Ulangan Semester sudah dekat, tapi tak satu pun dari mereka merasa perlu belajar. Bahkan, Sarci, anak Kaka Amos, sering tidak menuruti nasihat saya dan kabur untuk bermain. Kalau sudah begitu, saya akan mulai mengomel dengan dingin. Anak ini biasa dimanja, seperti halnya anak-anak lain di Pulau Kenari ini.
     Mereka memang sering dipukul, dibentak, dan sebagainya. Tapi, anak-anak ini tetap bisa berbuat sesuka hati mereka: meneriaki orang tua, membantah, menendang atau memukuli orang tuanya, dan meronta keras. Mereka sudah tahu, kalaupun mereka berbuat salah, orang tua akan memukuli dan membentak mereka, tapi segera saja orang tua akan membujuk mereka lagi begitu mereka mulai menangis sedikit. Paling-paling orang tua hanya akan berkata, "Ini anak, Kepala Batu. Kalau kita tidak turuti dia punya kemauan, dia akan berontak."
     Saya pernah seperti itu ketika kecil. Saya menolak umtuk ke sekolah karena sesang penasaran, ingin tahu bagaimana rasanya holos sekolah. Sebagai imbalannya, saya mendapat sabetan keras sapu lidi yang masih baru: lemas dan besar. Kaki saya tergores hingga berdarah. Sejak hari itu, meskipun sakit, saya tetap sekolah, kecuali jika sakit itu membuat saya tidak bisa bangun dari pembaringan.
     Mungkin karena orang tua saya disiplin dan agak keras untuk urusan sekolah, sehingga saya takut bolos; mungkin juga karena trauma pasca disabet sapu lidi; atau mungkin karena saya menyadari pesona buku-buku di perpustakaan dengan lebih baik dibanding teman-teman yang lain, saya enggan untuk bolos.
     Murid-murid saya tidak takut kena marah akibat bolos, karena pukulan telah menjadi menu sehari-hari mereka di rumah. Menimbulkan rasa takut sebagai dasar untuk penegakan disiplin di sekolah, jelas bukan jalan keluar. Yang benar adalah menimbulkan rasa rindu anak pada sekolahnya, entah pada kawan-kawannya, gurunya, atau pelajarannya. Saya sedang mengusahakan langkah itu. Semoga berhasil! :-)

Percobaan (2)

     Baiklah, saya telah melihat hasil upload saya dengan Bloggeroid dan kurang puas dengan hasilnya. Apalagi, ketika mencoba aplikasi resmi Blogger, terlihat perbedaan yang cukup signifikan.
     Menulis bahan post dengan aplikasi ini lebih mudah, ada pengaturan untuk membuat huruf tebal dan miring, bisa menyertakan label tulisan, juga bisa menyertakan link.
     Meski demikian, saya masih kesulitan mengatur perataan tulisan menjadi rata kanan-kiri (justify). Kesulitan lainnya, tentu saja mengatur agar tulisan tidak salah ketik. Saya masih belum terbiasa menggunakan Bang Samsul yang touchscreen ini, sehingga masih sering mengalami salah ketik. Apalagi, jempol saya tidak berukuran kecil.... ~_~
     Buat mas-ku yang guanteng pol, jangan ngomel lagi, ya. Setelah ini, Adik akan lebih sering update status galau. Ups! :p

Percobaan

Saya berkali-kali mencoba memperbarui tulisan pada blog ini dengan cara konvensional: buka blogger.com-sign in-post something new about my life or work. Saya kira, setelah meninggalkan hape unyu-unyu saya yang lama (tidak betul-betul meninggalkan juga, sih) dan beralih ke android samsul yang putih mulus, upload tulisan baru akan jadi lebih mudah.Tapi, yang ada, bang samsul berkali-kali ngadat dan stuck di satu halamn putih kosong. Di-refresh berkali-kali pun, tidak ada perubahan.
Saya yakin, jika mas saya yang gualak dan suka mengomel (dia suka menyangkal) itu mendengar hal ini, akan ada lagi omelan yang saya dapat. Nah, supaya saya tidak capek diomelin dan mas saya tidak capek mengomel, saya berinisiatif mencari aplikasi khusus pengguna blogger.
Ada dua aplikasi yang saya temukan. Yang satu, Bloggeroid for Blogger. Yang satu lagi, tentu saja aplikasi resmi milik Blogger. Karena saya orang yang serakah, saya install saja keduanya pada si Bang Samsul. Saya menggunakan aplikasi yang pertama untuk tulisan ini sebagai bahan perbandingan.
Membuka aplikasi ini segampang menginstalnya. Sayangnya,ketika mulai menulis, saya tidak menemukan pilihan untuk pengaturan tulisan sehingga tulisan ini masih menggunakan perataan kiri saja. Saya juga bingung cara melampirkan file foto untuk tulisan saya.
Nah, cukup sekian percobaan aplikasi ini. Saya perlu melihat tampilan akhirnya....

Monday, 21 April 2014

Tari Cakalele





     Pada Kamis, 13 Maret 2014 lalu, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid kami di kelas 2. Ayah Jonatan telah selesai memperbaiki mahkota bulu ayam yang biasa dipakai untuk menari Cakalele. Kami berfoto, lengkap dengan selendang tenun, busur-panah, kelewang, dan mahkota itu. Sesaat, saya merasa seperti pendekar. Hahaha….
     Ijinkan saya memberikan sedikit penjelasan tentang Cakalele. Menurut penuturan warga, Cakalele dulunya merupakan tarian perang yang dipersembahkan untuk para raja. Tari Cakalele menceritakan kegagahan dan keberanian para pendekar di jaman kerajaan dulu. Sekarang, setelah tidak ada lagi raja-raja di Alor, Tari Cakalele ditarikan untuk menyambut para pejabat, seperti Bupati, karena bupati dianggap pengganti raja. Ayah Jonatan merupakan salah satu warga yang paling pintar menarikan Tari Cakalele.

     Seperti yang telah saya sebutkan tadi, untuk menarikan Tari Cakalele, diperlukan beberapa perlengkapan, seperti mahkota, selendang tenun, sarung tenun, busur-panah, kelewang, lonceng yang diikatkan di kaki, tempat panah, dan perisai. Mahkotanya menggunakan bulu-bulu ayam jantan yang panjang dan melengkung dan lingkaran kepalanya dihiasi manik-manik; selendang dan sarungnya merupakan hasil tenunan dengan corak yang sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing; busurnya terbuat dari kayu yang telah diukir sedemikian rupa, sehingga saat hendak dipakai bisa dilengkungkan dan disaat tidak dipakai bisa diluruskan agar tidak cepat patah; panahnya menggunakan batang bambu yang kecil dan karena untuk menari mata panahnya, tidak seperti mata panah biasa, dibentuk seperti lidah api; tempat panah terbuat dari batang bambu yang diameternya agak besar; kelewangnya dikatakan punya kelamin: ada kelewang laki-laki dan kelewang perempuan (mai); dan perisainya terbuat dari potongan kulit rusa yang telah disamak, untuk menangkis panah yang dikirim musuh.

 






 
     Tari Cakalele ini ditarikan laki-laki dan perempuan. Cakalele versi laki-laki berbeda dengan Cakalele versi perempuan. Selain gerakan, kelewangnya yang digunakan juga berbeda. Cakalele versi laki-laki tentu saja menggunakan kelewang laki-laki. Sebaliknya, Cakalele versi perempuan menggunakan kelewang mai. Saya dan Ani berharap mendapat kesempatan untuk melihat dan mengabadikan tarian ini sebelum kami pulang Agustus nanti.

Pesta Jagung

     Kami pesta jagung. Berpuluh-puluh bongkol jagung terbaik dan terbesar didatangkan dari kebun-kebun warga. Siang sepulang dari gereja, satu per satu warga muali berdatangan dan berkumpul di bawah gudang gereja. Segera saja, asap mengebul dari bawah gudang. Kami bergantian melempar jagung ke tengah api, dengan atau tanpa kulitnya, sesuai selera.


     Ini memang telah menjadi semacam tradisi bagi warga Kolatuku. Hari minggu pertama bulan Maret, ketika jagung sudah besar, masih muda, tapi sudah hampir siap dipanen, seluruh warga mengumpulkan sedikit hasil kebun jagungnya untuk dinikmati bersama-sama. Sebagian jagung kami bakar; sebagian direbus; diparut lalu dikukus jadi kue; dan dimasak dengan sayur menjadi jagung ketemak.

Sebagian jagung yang terkumpul

Bapa Amos, pendeta dusun sekaligus kakak asuh saya, memimpin Sembahyang Minggu dan memberkati jagung dan sayur sebelum pesta

     Selain jagung, ada juga warga yang membawa semacam semangka (atau melon). Ada yang berwarna putih, ada yang kuning agak oranye. Awalnya, saya pikir itu labu besar.

Berebut: ada yang menyebutnya semangka, ada pula yang menyebutnya mentimun. Yang jelas, ini adalah labu yang masih sangat muda. Dalam waktu sekejap, dua nampan buah yang manis dan segar ini langsung ludes.

     Kami minum teh sambil makan jagung bakar dan jagung rebus, diselingi semangka. Saya merasa perut saya hampir meledak setelah makan 2 jagung: satu jagung rebus dan satu jagung bakar. Perut saya masih belum bisa diisi banyak-banyak. Saya mulai panik, karena masih harus makan kue jagung dan makan besar (istilah untuk makan nasi). Keduanya sama-sama mengandung karbohidrat tinggi dan makan nasinya disertai lauk berupa daging rusa hasil perburuan para pemuda di hutan pada hari Jumat dan Sabtu.

 Nepa dorang (bapak-bapak) duduk santai di bawah Langwah (gudang milik keluarga Playkari)

Dapur umum. Neweng dorang (para mama/ibu-ibu) sibuk menyiapkan api untuk memasak.

     Ani, temanku, membawa salah satu labu besar yang akan dimasak menjadi sayur. Masih ada yang lebih besar, tapi ketika sudah terpotong-potong saat kami datang.

     Beruntung, ada panggilan dari Kepala Dusun, Bapa Bastian Kulaibana. Ekskavator yang beberapa hari ini menginap di rumah saya hendak berangkat, kembali ke Kalabahi. Tugasnya telah selesai di sini: membuka jalan yang lebih lebar agar Kolatuku bisa dijangkau alat transportasi darat. Pesta jagung ditunda sebentar dan saya punya kesempatan untuk menenangkan perut yang mulai protes kepenuhan. Pendeta desa, Bapa Amos, memimpin doa. Kami berdoa dengan khusyuk. Saya merasa, kekhusyukan warga dalam berdoa terlalu serius. Saya tak percaya, warga sekampung betul-betul mendoakan sebuah mesin besar, benda mati. Tapi, mendengar kata-kata Bapa Amos yang memimpin doa, saya menyadari, demikian berartinya kehadiran ekskavator itu bagi mereka dan mendoakan keselamatan si mesin beserta para penumpangnya merupakan satu cara mereka berterima kasih dan bersyukur atas kesempatan meraih kemajuan yang diberikan pada mereka.
      Seperti halnya Tonte, Kolatuku merupakan salah satu dusun yang terletak di puncak salah satu bukit dari sekian banyak bukit yang membentang di daratan Alor Selatan. Dibandingkan daerah lain, Dusun Kolatuku termasuk daerah yang masih terisolir karena akses transportasi yang belum ada. Selama beberapa bulan terakhir, ekskavator kuning besar itu membuka jalan, memberi harapan besar bagi para warga yang selama ini memikul berbakul-bakul kemiri dengan berjalan kaki dan menempuh 6 km perjalanan yang menanjak dan menurun menuju Kiraman untuk menjual kemiri. Mereka berharap, dalam beberapa waktu, mereka tidak perlu lagi berjalan kaki untuk menempuh jalan itu hanya untuk menjual sebakul kemiri di Kiraman demi sejumlah uang yang tak seberapa. Mereka berharap, hidup mereka akan semakmur dusun-dusun lain yang telah lebih dulu mengecap kenikmatan pembangunan.

Memulai Hidup Baru

     Saya berusaha untuk terus rutin menulis tentang rutinitas saya di sini. Tapi, sungguh sulit meluangkan waktu, meski saya tak sesibuk ketika di Tonte. Setidaknya, jadwal mengajar saya tidak sepadat dulu. Dengan jadwal yang lebih fleksibel, saya pikir, saya akan punya lebih banyak waktu untuk menulis. Ternyata, saya salah.

Gudang Gereja

     Hidup di Kolatuku ini memang membuat saya jauh, jauh lebih bahagia, sehingga selalu muncul keinginan untuk mengabadikan setiap detail kejadian yang saya alami di sini. Tapi, kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah warga dan petualangan-petualangan kecil dengan murid-umrid membuat saya nyaris tak punya waktu untuk menulis.
     Pulang sekolah, saya makan siang dengan Bapa/Kakak Amos, pendeta yang menjadi kakak angkat saya. Kakak Agustina, istrinya, atau Sarci, anaknya yang jadi murid saya di kelas 2, yang akan menghidangkan makan siang. Kadang, saya tidur siang dulu sehabis makan. Kadang, tanpa tidur siang, saya langsung pamit kelayapan.
     Biasanya, saya pergi dengan Ani, teman sesama guru yang tugas dinas di sini. Kadang, anak-anak ikut menemani, kadang kami hanya berdua, sehingga kami dijuluki “niningork koidung” alias saudara kembar.
     Hari Jumat akhir Februari lalu, kami pergi ke kali. Naik-turun bukit yang curam, melintasi sawah dan kebun jagung, digigiti nyamuk super ganas, kaki mulai memprotes. Tapi, begitu kami menceburkan diri ke air sungai yang sedingin es, semuanya terbayar. Murid-murid berkejaran sambil telanjang, laki-laki dan perempuan. Mereka belum mengenal perbedaan kelamin.
Mandi di kali

     Saat mampir ke kebun Feronika, salah satu murid saya, kami disuguhi daging rusa. Nikmat sekali, meski tanpa bumbu apapun.
     Penduduk Kolatuku lebih tertib dan ramah. Lebih beradablah. Mereka memarahi anak-anak yang mencuri, tapi selalu ikhlas memberi jika ada yang meminta sesuatu pada mereka. Anak-anak ditegur jika berkelahi atau bicara tidak sopan dan tidak memberi contoh yang buruk di depan anak-anak itu. Mereka juga terbuka terhadap perbedaan dan bersedia mengajari saya bahasa daerah. Mereka berseru senang setiap saya mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah. Ketika saya berhasil menyanyikan satu bait lagu daerah Kolatuku, mereka lebih terkagum-kagum lagi.
     Saya melihat perlengkapan tari Cakalele khas Kolatuku di rumah Jonatan, salah satu murid saya yang lain, dan berniat mempelajari tarian itu sampai bisa. Saya juga ingin belajar menenun kain khas Kolatuku, berhubung Kakak Agustina adalah seorang penenun Kain. Saat ini, ia sedang cuti kerena menyusui bayinya yang berumur 10 bulan, Efata Reinhard. Sayangnya, ia tidak bisa mengajari saya menenun, karena ada mitos, bahwa jika orang luar suatu daerah belajar menenun corak daerah lainnya, maka orang itu akan sakit secara misterius. Misalnya, orang dari daerah pesisir Kiraman tidak boleh belajar corak tenun daerah pegunungan Kolatuku. Itu sebabnya, masing-masing daerah di Alor punya corak tenun khas daerah masing-masing, tidak tercemar oleh corak dari daerah lain.

     Suasana yang saya hadapi di sekolah sungguh berbeda. Anak-anak di sini lebih berani daripada anak-anak di Tonte, juga lebih sopan. Mereka lebih sering berbahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dengan orang tua yang lebih sadar dalam berkata-kata, saya hampir-hampir tidak pernah mendengar anak-anak ini mengumpatkan kata-kata kasar atau kata-kata kotor.
     Ani mengatakan, awalnya anak-anak ini juga pemalu. Tapi, seiring waktu, Ani berhasil mengubah anak-anak ini menjadi lebih percaya diri dan berani bicara.
Suasana belajar di kelas

 Magdalena dan Jonatan

     Saya tidak pernah mengajar anak SD sebelumnya, terlebih kelas-kelas pemula seperti kelas 1 dan kelas 2. Susah-susah gampang menghadapi mereka. Asalkan bisa menarik perhatian mereka, langkah berikutnya akan terasa lebih mudah, karena anak-anak pada dasarnya adalah makhluk-makhluk kecil yang sangat ingin tahu dan suka penasaran. Susahnya, kalau sudah ada yang kentut dalam kelas (bau sekali!), berkelahi, menangis, ngambek, dll. Guru yang sedang mengajar harus punya stok kesabaran yang tak terbatas.
Bermain di halaman sekolah
 
     Mengajar anak-anak sekecil ini, kami diharuskan cerewet. Anak-anak cenderung mengiyakan apapun yang dikatakan guru, meski tidak sepenuhnya mengerti. Untuk memastikan kami mendapat pengertian murid seperti yang kami harapkan, kami harus mengulang penjelasan hingga berkali-kali dan melakukan konfirmasi.

 
Senyum ceria yang menggemaskan
 
     Administrasi di sekolah ini juga lebih tertib. Saya dapat tugas piket tiap hari Jumat. Selain memastikan kedisiplinan anak, saya harus mencatat absensi, membuat laporan piket, dll. Saya belajar banyak di sini, karena selama mengajar di Tonte, maupun di daerah asal saya, saya selalu mengajar di sekolah yang tidak rapi dalam mengurus administrasi sekolah, sehingga saya tidak sepenuhnya tahu tugas seorang guru selain mengajar.
     Tugas mengajar saya di sini juga tidak seberat ketika di Tonte, karena ada guru-guru lain yang juga mengajar di sini. Saya terangsang untuk menjadi guru yang asyik (lagi), karena guru-guru lain punya kreativitas mengajar tersendiri. Saya tak hanya sekadar masuk kelas dan mencatatkan pelajaran hingga muak. Saya bernyanyi, tertawa, berteriak, melompat-lompat bersama murid-murid.
     Saya mengajarkan Bahasa Indonesia, SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan) dan PKn. Segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan.
     Selain karena tingginya jam terbang saya bertualang bersama murid-murid, saya juga kesulitan menjangkau jaringan internet karena ketiadaan listrik yang lebih parah dibandingkan dengan saat di Tonte. Jalan yang belum terbuka membuat desa kami sulit dijangkau sehingga distribusi bensin untuk bahan bakar mesin diesel maupun genset di desa agak mandeg. Ketika ada mobil yang kebetulan lewat, kami bisa mendapat cukup kiriman bahan bakar untuk membuat desa terang selama beberapa waktu. Tapi, jika tidak, kami harus menyabarkan diri hidup tanpa listrik beberapa hari.
     Meskipun banyak rumah sudah menggunakan lampu bertenaga surya (lampu TS), beberapa lainnya masih setia menggunakan pelita karena belum mampu membeli lampu TS. Kami juga memerlukan listrik untuk mengisi baterai handphone. Tapi, selain untuk kepentingan pencahayaan dan charge hp, kami sudah cukup bahagia dengan apa yang ada di sini.