Siang kemarin, sepulang sekolah, saya pergi ke ladang milik salah satu murid saya, Eli Beliem. Beberapa minggu belakangan ini, kami memasuki masa panen padi. Warga secara bergotong-royong "pungut padi" di kebun. Hari ini giliran keluarga Eli Beliem.
Saya sudah pernah ikut pungut padi sebelumnya, sehingga dengan segera "meluruh" bulir-bulir padi yang telah menguning dan meletakkannya di bakul kecil yang telah saya bawa dari rumah.
Tidak sulit melakukannya. Cukup menggenggam padi dari pangkal, lalu menariknya hingga bulir-bulirnya terlepas dan tertinggal dalam genggaman. Jika belum terbiasa, tangan akan tergores serat dan kulit padi. Apalagi, jika yang diluruh adalah jenis "padi besi". Ada dua jenis padi yang dikenal warga: padi halus dan padi besi. Perbedaannya terletak pada ketebalan kulit dan ketajaman serat pada ujung bilir padi. Keluarga Eli Beliem menanam jenis padi halus, sehingga tangan tidak terlalu sakit saat meluruh padi.
Bulir-bulir ini kemudian dikumpulkan dalam bakul yang lebih besar dan diangkut ke satu tempat yang telah ditentukan. Karena Dusun Kolatuku terletak di daerah perbukitan dengan banyak jurang dan batu karang, sangat sulit membuat sawah. Alhasil,warga menanam padi maupun tanaman pokok lainnya di lereng-lereng yang rerjal dengan derajat kemiringan yang mencemaskan.
Jika semua padi sudah terpungut, padi dalam karung-karung ini akan dikumpulkan ke satu tempat untuk diinjak nantinya. Pertama,kami menyiapkan satu lahan yang akan kami gunakan sebagai tempat Telimbai. Lalu, kami menyiapkan beberapa pelepah pisang sebagai alas paling bawah dan menutupinya dengan tikar lebar dari anyaman lontar.
Proses injak padi/telimbai ini berlangsung sepanjang siang. Menjelang malam, bulir-bulir padi yang telah dikumpulkan dalam bakul-bakul besar, ditumpahkan di atas tikar. Beberapa orang akan mulai menginjak-injak padi dengan gerakan yang seirama sambil bernyanyi lagu Telimbai. Proses menginjak-injak ini dilakukan untuk merontokkan butir padi dari tangkai yang tercabut saat proses petik. Jadi, pada dasarnya Telimbai ini sama dengan tradisi panen padi di Jawa: padi diambil lalu dipisahkan dari tangkainya. Orang-orang yang membantu panen juga mendapat imbalan berupa jamuan makan dan sirih-pinang. Ketika pulang, bakul kecil yang dibawa dari rumah untuk menampung padi selama proses pemetikan, akan diisi penuh-penuh untuk dibawa pulang.
Usai diinjak, butir padi diaduk-aduk sedemikian rupa untuk dipisahkan dari batangnya. Butiran-butiran tersebut lantas dikipasi dengan kipas besar untuk memisahkan dedak dan kulit-kulit padi yang kosong. Barulah, kemudian butiran tersebut diukur dengan ukuran blek bekas kue berukuran besar. Setiap 10 blek yang terkumpul,1 blek akan diserahkan kepada gereja untuk "penyerahan berkat", semacam sedekah atau zakat.
Telimbai bisa berlangsung sepanjang malam sampai pagi tiba, tergantung banyaknya padi yang harus terkumpul. Jika ladangnya tidak besar/luas, padi yang dipanen tidak terlalu banyak. Seperti semalam, kami selesai telimbai sekitar pukul 2 dini hari, karena jumlah padi yang dipanen tidak terlalu banyak.
Saya sangat menikmati kegiatan ini,meski mengantuk berat menjelang pukul 1 dini hari. Pada pukul 6 pagi, saya terbangun dan agak terkejut mendapati diri tertidur di semak-semak. Perlu waktu beberapa menit untuk mengingatkan saya ada di mana dan mengapa saya bisa berada di sana. Dan, meskipun masih mengantuk, lelah, dan merasa sakit di sekujur badan, saya tetap hadir di sekolah untuk mengajar....
Pages
Monday, 28 April 2014
Telimbai
Sunday, 27 April 2014
Pertanggungjawaban (1)
Saya telah ditegur oleh kakak lelaki saya tentang so many excuse atas tulisan saya yang mulai jarang muncul di blog ini. Jadi, inilah pertanggungjawaban saya atas kegiatan maupun peristiwa yang saya alami selama di Kolatuku.
Jumat, 14 Maret 2014
Besok, saya genap 3 minggu tinggal di Dusun Kolatuku ini. Tak sekalipun terlintas keinginan meninggalkan dusun ini untuk sekadar berlibur ke Kota Kalabahi. Kalaupun saya ingin ke Kalabahi, itu bukan karena saya bosan di sini. Gaji yang dijanjikan belum juga turun hingga saat ini. Saya perlu segera membeli handphone android untuk memudahkan saya mengakses internet dan melakukan komunikasi murah-meriah. Handphone saya yang unyu-unyu itu terbukti boros pulsa.
Listrik masih menjadi salah satu hal yang sulit didapat di sini. Tapi, sejauh ini saya sanggup mengatasinya. Ada banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini, sehingga kecanduan saya pada laptop dan internet bisa dialihkan.
Kadang, saya main-main ke rumah warga, hanya duduk mengobrol, minum teh, bakar jagung, atau menikmati panganan khas daerah Kolatuku. Kemarin, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid saya, setelah mendengar informasi dari warga bahwa ayah Jonatan adalah penari Cakalele paling TOP di kampung.
Bila tidak, saya patroli keliling dusun, mengawasi murid-murid untuk mengingatkan mereka belajar atau menegur bila ada yang berkelahi atau memaki. Ulangan Semester sudah dekat, tapi tak satu pun dari mereka merasa perlu belajar. Bahkan, Sarci, anak Kaka Amos, sering tidak menuruti nasihat saya dan kabur untuk bermain. Kalau sudah begitu, saya akan mulai mengomel dengan dingin. Anak ini biasa dimanja, seperti halnya anak-anak lain di Pulau Kenari ini.
Mereka memang sering dipukul, dibentak, dan sebagainya. Tapi, anak-anak ini tetap bisa berbuat sesuka hati mereka: meneriaki orang tua, membantah, menendang atau memukuli orang tuanya, dan meronta keras. Mereka sudah tahu, kalaupun mereka berbuat salah, orang tua akan memukuli dan membentak mereka, tapi segera saja orang tua akan membujuk mereka lagi begitu mereka mulai menangis sedikit. Paling-paling orang tua hanya akan berkata, "Ini anak, Kepala Batu. Kalau kita tidak turuti dia punya kemauan, dia akan berontak."
Saya pernah seperti itu ketika kecil. Saya menolak umtuk ke sekolah karena sesang penasaran, ingin tahu bagaimana rasanya holos sekolah. Sebagai imbalannya, saya mendapat sabetan keras sapu lidi yang masih baru: lemas dan besar. Kaki saya tergores hingga berdarah. Sejak hari itu, meskipun sakit, saya tetap sekolah, kecuali jika sakit itu membuat saya tidak bisa bangun dari pembaringan.
Mungkin karena orang tua saya disiplin dan agak keras untuk urusan sekolah, sehingga saya takut bolos; mungkin juga karena trauma pasca disabet sapu lidi; atau mungkin karena saya menyadari pesona buku-buku di perpustakaan dengan lebih baik dibanding teman-teman yang lain, saya enggan untuk bolos.
Murid-murid saya tidak takut kena marah akibat bolos, karena pukulan telah menjadi menu sehari-hari mereka di rumah. Menimbulkan rasa takut sebagai dasar untuk penegakan disiplin di sekolah, jelas bukan jalan keluar. Yang benar adalah menimbulkan rasa rindu anak pada sekolahnya, entah pada kawan-kawannya, gurunya, atau pelajarannya. Saya sedang mengusahakan langkah itu. Semoga berhasil! :-)
Percobaan (2)
Baiklah, saya telah melihat hasil upload saya dengan Bloggeroid dan kurang puas dengan hasilnya. Apalagi, ketika mencoba aplikasi resmi Blogger, terlihat perbedaan yang cukup signifikan.
Menulis bahan post dengan aplikasi ini lebih mudah, ada pengaturan untuk membuat huruf tebal dan miring, bisa menyertakan label tulisan, juga bisa menyertakan link.
Meski demikian, saya masih kesulitan mengatur perataan tulisan menjadi rata kanan-kiri (justify). Kesulitan lainnya, tentu saja mengatur agar tulisan tidak salah ketik. Saya masih belum terbiasa menggunakan Bang Samsul yang touchscreen ini, sehingga masih sering mengalami salah ketik. Apalagi, jempol saya tidak berukuran kecil.... ~_~
Buat mas-ku yang guanteng pol, jangan ngomel lagi, ya. Setelah ini, Adik akan lebih sering update status galau. Ups! :p
Percobaan
Saya yakin, jika mas saya yang gualak dan suka mengomel (dia suka menyangkal) itu mendengar hal ini, akan ada lagi omelan yang saya dapat. Nah, supaya saya tidak capek diomelin dan mas saya tidak capek mengomel, saya berinisiatif mencari aplikasi khusus pengguna blogger.
Ada dua aplikasi yang saya temukan. Yang satu, Bloggeroid for Blogger. Yang satu lagi, tentu saja aplikasi resmi milik Blogger. Karena saya orang yang serakah, saya install saja keduanya pada si Bang Samsul. Saya menggunakan aplikasi yang pertama untuk tulisan ini sebagai bahan perbandingan.
Membuka aplikasi ini segampang menginstalnya. Sayangnya,ketika mulai menulis, saya tidak menemukan pilihan untuk pengaturan tulisan sehingga tulisan ini masih menggunakan perataan kiri saja. Saya juga bingung cara melampirkan file foto untuk tulisan saya.
Nah, cukup sekian percobaan aplikasi ini. Saya perlu melihat tampilan akhirnya....
Monday, 21 April 2014
Tari Cakalele
Pesta Jagung

Dapur umum. Neweng dorang (para mama/ibu-ibu) sibuk menyiapkan api untuk memasak.




