Pages

Monday, 21 April 2014

Pesta Jagung

     Kami pesta jagung. Berpuluh-puluh bongkol jagung terbaik dan terbesar didatangkan dari kebun-kebun warga. Siang sepulang dari gereja, satu per satu warga muali berdatangan dan berkumpul di bawah gudang gereja. Segera saja, asap mengebul dari bawah gudang. Kami bergantian melempar jagung ke tengah api, dengan atau tanpa kulitnya, sesuai selera.


     Ini memang telah menjadi semacam tradisi bagi warga Kolatuku. Hari minggu pertama bulan Maret, ketika jagung sudah besar, masih muda, tapi sudah hampir siap dipanen, seluruh warga mengumpulkan sedikit hasil kebun jagungnya untuk dinikmati bersama-sama. Sebagian jagung kami bakar; sebagian direbus; diparut lalu dikukus jadi kue; dan dimasak dengan sayur menjadi jagung ketemak.

Sebagian jagung yang terkumpul

Bapa Amos, pendeta dusun sekaligus kakak asuh saya, memimpin Sembahyang Minggu dan memberkati jagung dan sayur sebelum pesta

     Selain jagung, ada juga warga yang membawa semacam semangka (atau melon). Ada yang berwarna putih, ada yang kuning agak oranye. Awalnya, saya pikir itu labu besar.

Berebut: ada yang menyebutnya semangka, ada pula yang menyebutnya mentimun. Yang jelas, ini adalah labu yang masih sangat muda. Dalam waktu sekejap, dua nampan buah yang manis dan segar ini langsung ludes.

     Kami minum teh sambil makan jagung bakar dan jagung rebus, diselingi semangka. Saya merasa perut saya hampir meledak setelah makan 2 jagung: satu jagung rebus dan satu jagung bakar. Perut saya masih belum bisa diisi banyak-banyak. Saya mulai panik, karena masih harus makan kue jagung dan makan besar (istilah untuk makan nasi). Keduanya sama-sama mengandung karbohidrat tinggi dan makan nasinya disertai lauk berupa daging rusa hasil perburuan para pemuda di hutan pada hari Jumat dan Sabtu.

 Nepa dorang (bapak-bapak) duduk santai di bawah Langwah (gudang milik keluarga Playkari)

Dapur umum. Neweng dorang (para mama/ibu-ibu) sibuk menyiapkan api untuk memasak.

     Ani, temanku, membawa salah satu labu besar yang akan dimasak menjadi sayur. Masih ada yang lebih besar, tapi ketika sudah terpotong-potong saat kami datang.

     Beruntung, ada panggilan dari Kepala Dusun, Bapa Bastian Kulaibana. Ekskavator yang beberapa hari ini menginap di rumah saya hendak berangkat, kembali ke Kalabahi. Tugasnya telah selesai di sini: membuka jalan yang lebih lebar agar Kolatuku bisa dijangkau alat transportasi darat. Pesta jagung ditunda sebentar dan saya punya kesempatan untuk menenangkan perut yang mulai protes kepenuhan. Pendeta desa, Bapa Amos, memimpin doa. Kami berdoa dengan khusyuk. Saya merasa, kekhusyukan warga dalam berdoa terlalu serius. Saya tak percaya, warga sekampung betul-betul mendoakan sebuah mesin besar, benda mati. Tapi, mendengar kata-kata Bapa Amos yang memimpin doa, saya menyadari, demikian berartinya kehadiran ekskavator itu bagi mereka dan mendoakan keselamatan si mesin beserta para penumpangnya merupakan satu cara mereka berterima kasih dan bersyukur atas kesempatan meraih kemajuan yang diberikan pada mereka.
      Seperti halnya Tonte, Kolatuku merupakan salah satu dusun yang terletak di puncak salah satu bukit dari sekian banyak bukit yang membentang di daratan Alor Selatan. Dibandingkan daerah lain, Dusun Kolatuku termasuk daerah yang masih terisolir karena akses transportasi yang belum ada. Selama beberapa bulan terakhir, ekskavator kuning besar itu membuka jalan, memberi harapan besar bagi para warga yang selama ini memikul berbakul-bakul kemiri dengan berjalan kaki dan menempuh 6 km perjalanan yang menanjak dan menurun menuju Kiraman untuk menjual kemiri. Mereka berharap, dalam beberapa waktu, mereka tidak perlu lagi berjalan kaki untuk menempuh jalan itu hanya untuk menjual sebakul kemiri di Kiraman demi sejumlah uang yang tak seberapa. Mereka berharap, hidup mereka akan semakmur dusun-dusun lain yang telah lebih dulu mengecap kenikmatan pembangunan.

0 comments:

Post a Comment