Kami pesta jagung. Berpuluh-puluh bongkol jagung terbaik dan
terbesar didatangkan dari kebun-kebun warga. Siang sepulang dari gereja, satu
per satu warga muali berdatangan dan berkumpul di bawah gudang gereja. Segera
saja, asap mengebul dari bawah gudang. Kami bergantian melempar jagung ke
tengah api, dengan atau tanpa kulitnya, sesuai selera.
Ini memang telah menjadi semacam tradisi bagi warga
Kolatuku. Hari minggu pertama bulan Maret, ketika jagung sudah besar, masih
muda, tapi sudah hampir siap dipanen, seluruh warga mengumpulkan sedikit hasil
kebun jagungnya untuk dinikmati bersama-sama. Sebagian jagung kami bakar;
sebagian direbus; diparut lalu dikukus jadi kue; dan dimasak dengan sayur
menjadi jagung ketemak.
Sebagian jagung yang terkumpul

Bapa Amos, pendeta dusun sekaligus kakak asuh saya, memimpin Sembahyang Minggu dan memberkati jagung dan sayur sebelum pesta
Selain jagung, ada juga warga yang membawa semacam semangka
(atau melon). Ada yang berwarna putih, ada yang kuning agak oranye. Awalnya,
saya pikir itu labu besar.
Berebut: ada yang menyebutnya semangka, ada pula yang menyebutnya mentimun. Yang jelas, ini adalah labu yang masih sangat muda. Dalam waktu sekejap, dua nampan buah yang manis dan segar ini langsung ludes.
Kami minum teh sambil makan jagung bakar dan jagung rebus,
diselingi semangka. Saya merasa perut saya hampir meledak setelah makan 2 jagung:
satu jagung rebus dan satu jagung bakar. Perut saya masih belum bisa diisi
banyak-banyak. Saya mulai panik, karena masih harus makan kue jagung dan makan
besar (istilah untuk makan nasi). Keduanya sama-sama mengandung karbohidrat
tinggi dan makan nasinya disertai lauk berupa daging rusa hasil perburuan para
pemuda di hutan pada hari Jumat dan Sabtu.
Nepa dorang (bapak-bapak) duduk santai di bawah Langwah (gudang milik keluarga Playkari)
Dapur umum. Neweng dorang (para mama/ibu-ibu) sibuk menyiapkan api untuk memasak.
Ani, temanku, membawa salah satu labu besar yang akan dimasak menjadi sayur. Masih ada yang lebih besar, tapi ketika sudah terpotong-potong saat kami datang.
Beruntung, ada panggilan dari Kepala Dusun, Bapa Bastian
Kulaibana. Ekskavator yang beberapa hari ini menginap di rumah saya hendak
berangkat, kembali ke Kalabahi. Tugasnya telah selesai di sini: membuka jalan
yang lebih lebar agar Kolatuku bisa dijangkau alat transportasi darat. Pesta
jagung ditunda sebentar dan saya punya kesempatan untuk menenangkan perut yang
mulai protes kepenuhan. Pendeta desa, Bapa Amos, memimpin doa. Kami berdoa
dengan khusyuk. Saya merasa, kekhusyukan warga dalam berdoa terlalu serius.
Saya tak percaya, warga sekampung betul-betul mendoakan sebuah mesin besar,
benda mati. Tapi, mendengar kata-kata Bapa Amos yang memimpin doa, saya menyadari,
demikian berartinya kehadiran ekskavator itu bagi mereka dan mendoakan
keselamatan si mesin beserta para penumpangnya merupakan satu cara mereka
berterima kasih dan bersyukur atas kesempatan meraih kemajuan yang diberikan
pada mereka.
Seperti halnya Tonte, Kolatuku merupakan salah satu dusun
yang terletak di puncak salah satu bukit dari sekian banyak bukit yang
membentang di daratan Alor Selatan. Dibandingkan daerah lain, Dusun Kolatuku
termasuk daerah yang masih terisolir karena akses transportasi yang belum ada.
Selama beberapa bulan terakhir, ekskavator kuning besar itu membuka jalan,
memberi harapan besar bagi para warga yang selama ini memikul berbakul-bakul
kemiri dengan berjalan kaki dan menempuh 6 km perjalanan yang menanjak dan
menurun menuju Kiraman untuk menjual kemiri. Mereka berharap, dalam beberapa
waktu, mereka tidak perlu lagi berjalan kaki untuk menempuh jalan itu hanya
untuk menjual sebakul kemiri di Kiraman demi sejumlah uang yang tak seberapa.
Mereka berharap, hidup mereka akan semakmur dusun-dusun lain yang telah lebih
dulu mengecap kenikmatan pembangunan.






0 comments:
Post a Comment