Pages

Sunday, 27 April 2014

Pertanggungjawaban (1)

     Saya telah ditegur oleh kakak lelaki saya tentang so many excuse atas tulisan saya yang mulai jarang muncul di blog ini. Jadi, inilah pertanggungjawaban saya atas kegiatan maupun peristiwa yang saya alami selama di Kolatuku.

Jumat, 14 Maret 2014
     Besok, saya genap 3 minggu tinggal di Dusun Kolatuku ini. Tak sekalipun terlintas keinginan meninggalkan dusun ini untuk sekadar berlibur ke Kota Kalabahi. Kalaupun saya ingin ke Kalabahi, itu bukan karena saya bosan di sini. Gaji yang dijanjikan belum juga turun hingga saat ini. Saya perlu segera membeli handphone android untuk memudahkan saya mengakses internet dan melakukan komunikasi murah-meriah. Handphone saya yang unyu-unyu itu terbukti boros pulsa.
     Listrik masih menjadi salah satu hal yang sulit didapat di sini. Tapi, sejauh ini saya sanggup mengatasinya. Ada banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini, sehingga kecanduan saya pada laptop dan internet bisa dialihkan.
     Kadang, saya main-main ke rumah warga, hanya duduk mengobrol, minum teh, bakar jagung, atau menikmati panganan khas daerah Kolatuku. Kemarin, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid saya, setelah mendengar informasi dari warga bahwa ayah Jonatan adalah penari Cakalele paling TOP di kampung.
     Bila tidak, saya patroli keliling dusun, mengawasi murid-murid untuk mengingatkan mereka belajar atau menegur bila ada yang berkelahi atau memaki. Ulangan Semester sudah dekat, tapi tak satu pun dari mereka merasa perlu belajar. Bahkan, Sarci, anak Kaka Amos, sering tidak menuruti nasihat saya dan kabur untuk bermain. Kalau sudah begitu, saya akan mulai mengomel dengan dingin. Anak ini biasa dimanja, seperti halnya anak-anak lain di Pulau Kenari ini.
     Mereka memang sering dipukul, dibentak, dan sebagainya. Tapi, anak-anak ini tetap bisa berbuat sesuka hati mereka: meneriaki orang tua, membantah, menendang atau memukuli orang tuanya, dan meronta keras. Mereka sudah tahu, kalaupun mereka berbuat salah, orang tua akan memukuli dan membentak mereka, tapi segera saja orang tua akan membujuk mereka lagi begitu mereka mulai menangis sedikit. Paling-paling orang tua hanya akan berkata, "Ini anak, Kepala Batu. Kalau kita tidak turuti dia punya kemauan, dia akan berontak."
     Saya pernah seperti itu ketika kecil. Saya menolak umtuk ke sekolah karena sesang penasaran, ingin tahu bagaimana rasanya holos sekolah. Sebagai imbalannya, saya mendapat sabetan keras sapu lidi yang masih baru: lemas dan besar. Kaki saya tergores hingga berdarah. Sejak hari itu, meskipun sakit, saya tetap sekolah, kecuali jika sakit itu membuat saya tidak bisa bangun dari pembaringan.
     Mungkin karena orang tua saya disiplin dan agak keras untuk urusan sekolah, sehingga saya takut bolos; mungkin juga karena trauma pasca disabet sapu lidi; atau mungkin karena saya menyadari pesona buku-buku di perpustakaan dengan lebih baik dibanding teman-teman yang lain, saya enggan untuk bolos.
     Murid-murid saya tidak takut kena marah akibat bolos, karena pukulan telah menjadi menu sehari-hari mereka di rumah. Menimbulkan rasa takut sebagai dasar untuk penegakan disiplin di sekolah, jelas bukan jalan keluar. Yang benar adalah menimbulkan rasa rindu anak pada sekolahnya, entah pada kawan-kawannya, gurunya, atau pelajarannya. Saya sedang mengusahakan langkah itu. Semoga berhasil! :-)

0 comments:

Post a Comment