Pages

Monday, 21 April 2014

Memulai Hidup Baru

     Saya berusaha untuk terus rutin menulis tentang rutinitas saya di sini. Tapi, sungguh sulit meluangkan waktu, meski saya tak sesibuk ketika di Tonte. Setidaknya, jadwal mengajar saya tidak sepadat dulu. Dengan jadwal yang lebih fleksibel, saya pikir, saya akan punya lebih banyak waktu untuk menulis. Ternyata, saya salah.

Gudang Gereja

     Hidup di Kolatuku ini memang membuat saya jauh, jauh lebih bahagia, sehingga selalu muncul keinginan untuk mengabadikan setiap detail kejadian yang saya alami di sini. Tapi, kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah warga dan petualangan-petualangan kecil dengan murid-umrid membuat saya nyaris tak punya waktu untuk menulis.
     Pulang sekolah, saya makan siang dengan Bapa/Kakak Amos, pendeta yang menjadi kakak angkat saya. Kakak Agustina, istrinya, atau Sarci, anaknya yang jadi murid saya di kelas 2, yang akan menghidangkan makan siang. Kadang, saya tidur siang dulu sehabis makan. Kadang, tanpa tidur siang, saya langsung pamit kelayapan.
     Biasanya, saya pergi dengan Ani, teman sesama guru yang tugas dinas di sini. Kadang, anak-anak ikut menemani, kadang kami hanya berdua, sehingga kami dijuluki “niningork koidung” alias saudara kembar.
     Hari Jumat akhir Februari lalu, kami pergi ke kali. Naik-turun bukit yang curam, melintasi sawah dan kebun jagung, digigiti nyamuk super ganas, kaki mulai memprotes. Tapi, begitu kami menceburkan diri ke air sungai yang sedingin es, semuanya terbayar. Murid-murid berkejaran sambil telanjang, laki-laki dan perempuan. Mereka belum mengenal perbedaan kelamin.
Mandi di kali

     Saat mampir ke kebun Feronika, salah satu murid saya, kami disuguhi daging rusa. Nikmat sekali, meski tanpa bumbu apapun.
     Penduduk Kolatuku lebih tertib dan ramah. Lebih beradablah. Mereka memarahi anak-anak yang mencuri, tapi selalu ikhlas memberi jika ada yang meminta sesuatu pada mereka. Anak-anak ditegur jika berkelahi atau bicara tidak sopan dan tidak memberi contoh yang buruk di depan anak-anak itu. Mereka juga terbuka terhadap perbedaan dan bersedia mengajari saya bahasa daerah. Mereka berseru senang setiap saya mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah. Ketika saya berhasil menyanyikan satu bait lagu daerah Kolatuku, mereka lebih terkagum-kagum lagi.
     Saya melihat perlengkapan tari Cakalele khas Kolatuku di rumah Jonatan, salah satu murid saya yang lain, dan berniat mempelajari tarian itu sampai bisa. Saya juga ingin belajar menenun kain khas Kolatuku, berhubung Kakak Agustina adalah seorang penenun Kain. Saat ini, ia sedang cuti kerena menyusui bayinya yang berumur 10 bulan, Efata Reinhard. Sayangnya, ia tidak bisa mengajari saya menenun, karena ada mitos, bahwa jika orang luar suatu daerah belajar menenun corak daerah lainnya, maka orang itu akan sakit secara misterius. Misalnya, orang dari daerah pesisir Kiraman tidak boleh belajar corak tenun daerah pegunungan Kolatuku. Itu sebabnya, masing-masing daerah di Alor punya corak tenun khas daerah masing-masing, tidak tercemar oleh corak dari daerah lain.

     Suasana yang saya hadapi di sekolah sungguh berbeda. Anak-anak di sini lebih berani daripada anak-anak di Tonte, juga lebih sopan. Mereka lebih sering berbahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dengan orang tua yang lebih sadar dalam berkata-kata, saya hampir-hampir tidak pernah mendengar anak-anak ini mengumpatkan kata-kata kasar atau kata-kata kotor.
     Ani mengatakan, awalnya anak-anak ini juga pemalu. Tapi, seiring waktu, Ani berhasil mengubah anak-anak ini menjadi lebih percaya diri dan berani bicara.
Suasana belajar di kelas

 Magdalena dan Jonatan

     Saya tidak pernah mengajar anak SD sebelumnya, terlebih kelas-kelas pemula seperti kelas 1 dan kelas 2. Susah-susah gampang menghadapi mereka. Asalkan bisa menarik perhatian mereka, langkah berikutnya akan terasa lebih mudah, karena anak-anak pada dasarnya adalah makhluk-makhluk kecil yang sangat ingin tahu dan suka penasaran. Susahnya, kalau sudah ada yang kentut dalam kelas (bau sekali!), berkelahi, menangis, ngambek, dll. Guru yang sedang mengajar harus punya stok kesabaran yang tak terbatas.
Bermain di halaman sekolah
 
     Mengajar anak-anak sekecil ini, kami diharuskan cerewet. Anak-anak cenderung mengiyakan apapun yang dikatakan guru, meski tidak sepenuhnya mengerti. Untuk memastikan kami mendapat pengertian murid seperti yang kami harapkan, kami harus mengulang penjelasan hingga berkali-kali dan melakukan konfirmasi.

 
Senyum ceria yang menggemaskan
 
     Administrasi di sekolah ini juga lebih tertib. Saya dapat tugas piket tiap hari Jumat. Selain memastikan kedisiplinan anak, saya harus mencatat absensi, membuat laporan piket, dll. Saya belajar banyak di sini, karena selama mengajar di Tonte, maupun di daerah asal saya, saya selalu mengajar di sekolah yang tidak rapi dalam mengurus administrasi sekolah, sehingga saya tidak sepenuhnya tahu tugas seorang guru selain mengajar.
     Tugas mengajar saya di sini juga tidak seberat ketika di Tonte, karena ada guru-guru lain yang juga mengajar di sini. Saya terangsang untuk menjadi guru yang asyik (lagi), karena guru-guru lain punya kreativitas mengajar tersendiri. Saya tak hanya sekadar masuk kelas dan mencatatkan pelajaran hingga muak. Saya bernyanyi, tertawa, berteriak, melompat-lompat bersama murid-murid.
     Saya mengajarkan Bahasa Indonesia, SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan) dan PKn. Segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan.
     Selain karena tingginya jam terbang saya bertualang bersama murid-murid, saya juga kesulitan menjangkau jaringan internet karena ketiadaan listrik yang lebih parah dibandingkan dengan saat di Tonte. Jalan yang belum terbuka membuat desa kami sulit dijangkau sehingga distribusi bensin untuk bahan bakar mesin diesel maupun genset di desa agak mandeg. Ketika ada mobil yang kebetulan lewat, kami bisa mendapat cukup kiriman bahan bakar untuk membuat desa terang selama beberapa waktu. Tapi, jika tidak, kami harus menyabarkan diri hidup tanpa listrik beberapa hari.
     Meskipun banyak rumah sudah menggunakan lampu bertenaga surya (lampu TS), beberapa lainnya masih setia menggunakan pelita karena belum mampu membeli lampu TS. Kami juga memerlukan listrik untuk mengisi baterai handphone. Tapi, selain untuk kepentingan pencahayaan dan charge hp, kami sudah cukup bahagia dengan apa yang ada di sini.

0 comments:

Post a Comment