Saya berusaha untuk terus rutin menulis tentang rutinitas
saya di sini. Tapi, sungguh sulit meluangkan waktu, meski saya tak sesibuk
ketika di Tonte. Setidaknya, jadwal mengajar saya tidak sepadat dulu. Dengan
jadwal yang lebih fleksibel, saya pikir, saya akan punya lebih banyak waktu
untuk menulis. Ternyata, saya salah.
Gudang Gereja
Hidup di Kolatuku ini memang membuat saya jauh, jauh lebih
bahagia, sehingga selalu muncul keinginan untuk mengabadikan setiap detail
kejadian yang saya alami di sini. Tapi, kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah
warga dan petualangan-petualangan kecil dengan murid-umrid membuat saya nyaris
tak punya waktu untuk menulis.
Pulang sekolah, saya makan siang dengan Bapa/Kakak Amos,
pendeta yang menjadi kakak angkat saya. Kakak Agustina, istrinya, atau Sarci,
anaknya yang jadi murid saya di kelas 2, yang akan menghidangkan makan siang.
Kadang, saya tidur siang dulu sehabis makan. Kadang, tanpa tidur siang, saya
langsung pamit kelayapan.
Biasanya, saya pergi dengan Ani, teman sesama guru yang
tugas dinas di sini. Kadang, anak-anak ikut menemani, kadang kami hanya berdua,
sehingga kami dijuluki “niningork koidung” alias saudara kembar.
Hari Jumat akhir Februari lalu, kami pergi ke kali.
Naik-turun bukit yang curam, melintasi sawah dan kebun jagung, digigiti nyamuk
super ganas, kaki mulai memprotes. Tapi, begitu kami menceburkan diri ke air
sungai yang sedingin es, semuanya terbayar. Murid-murid berkejaran sambil
telanjang, laki-laki dan perempuan. Mereka belum mengenal perbedaan kelamin.
Saat mampir ke kebun Feronika, salah satu murid saya, kami
disuguhi daging rusa. Nikmat sekali, meski tanpa bumbu apapun.
Penduduk Kolatuku lebih tertib dan ramah. Lebih beradablah.
Mereka memarahi anak-anak yang mencuri, tapi selalu ikhlas memberi jika ada
yang meminta sesuatu pada mereka. Anak-anak ditegur jika berkelahi atau bicara
tidak sopan dan tidak memberi contoh yang buruk di depan anak-anak itu. Mereka
juga terbuka terhadap perbedaan dan bersedia mengajari saya bahasa daerah.
Mereka berseru senang setiap saya mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah.
Ketika saya berhasil menyanyikan satu bait lagu daerah Kolatuku, mereka lebih
terkagum-kagum lagi.
Saya melihat perlengkapan tari Cakalele khas Kolatuku di
rumah Jonatan, salah satu murid saya yang lain, dan berniat mempelajari tarian
itu sampai bisa. Saya juga ingin belajar menenun kain khas Kolatuku, berhubung
Kakak Agustina adalah seorang penenun Kain. Saat ini, ia sedang cuti kerena
menyusui bayinya yang berumur 10 bulan, Efata Reinhard. Sayangnya, ia tidak
bisa mengajari saya menenun, karena ada mitos, bahwa jika orang luar suatu
daerah belajar menenun corak daerah lainnya, maka orang itu akan sakit secara
misterius. Misalnya, orang dari daerah pesisir Kiraman tidak boleh belajar
corak tenun daerah pegunungan Kolatuku. Itu sebabnya, masing-masing daerah di
Alor punya corak tenun khas daerah masing-masing, tidak tercemar oleh corak
dari daerah lain.
Suasana yang saya hadapi di sekolah sungguh berbeda.
Anak-anak di sini lebih berani daripada anak-anak di Tonte, juga lebih sopan.
Mereka lebih sering berbahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dengan orang
tua yang lebih sadar dalam berkata-kata, saya hampir-hampir tidak pernah
mendengar anak-anak ini mengumpatkan kata-kata kasar atau kata-kata kotor.
Ani mengatakan, awalnya anak-anak ini juga pemalu. Tapi,
seiring waktu, Ani berhasil mengubah anak-anak ini menjadi lebih percaya diri
dan berani bicara.
Suasana belajar di kelas
Magdalena dan Jonatan
Saya tidak pernah mengajar anak SD sebelumnya, terlebih
kelas-kelas pemula seperti kelas 1 dan kelas 2. Susah-susah gampang menghadapi
mereka. Asalkan bisa menarik perhatian mereka, langkah berikutnya akan terasa
lebih mudah, karena anak-anak pada dasarnya adalah makhluk-makhluk kecil yang
sangat ingin tahu dan suka penasaran. Susahnya, kalau sudah ada yang kentut
dalam kelas (bau sekali!), berkelahi, menangis, ngambek, dll. Guru yang sedang mengajar harus punya stok kesabaran
yang tak terbatas.
Bermain di halaman sekolah
Mengajar anak-anak sekecil ini, kami diharuskan cerewet.
Anak-anak cenderung mengiyakan apapun yang dikatakan guru, meski tidak sepenuhnya
mengerti. Untuk memastikan kami mendapat pengertian murid seperti yang kami
harapkan, kami harus mengulang penjelasan hingga berkali-kali dan melakukan
konfirmasi.
Senyum ceria yang menggemaskan
Administrasi di sekolah ini juga lebih tertib. Saya dapat
tugas piket tiap hari Jumat. Selain memastikan kedisiplinan anak, saya harus
mencatat absensi, membuat laporan piket, dll. Saya belajar banyak di sini,
karena selama mengajar di Tonte, maupun di daerah asal saya, saya selalu
mengajar di sekolah yang tidak rapi dalam mengurus administrasi sekolah,
sehingga saya tidak sepenuhnya tahu tugas seorang guru selain mengajar.
Tugas mengajar saya di sini juga tidak seberat ketika di
Tonte, karena ada guru-guru lain yang juga mengajar di sini. Saya terangsang
untuk menjadi guru yang asyik (lagi), karena guru-guru lain punya kreativitas
mengajar tersendiri. Saya tak hanya sekadar masuk kelas dan mencatatkan
pelajaran hingga muak. Saya bernyanyi, tertawa, berteriak, melompat-lompat
bersama murid-murid.
Saya mengajarkan Bahasa Indonesia, SBK (Seni, Budaya, dan
Keterampilan) dan PKn. Segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan.
Selain karena tingginya jam terbang saya bertualang bersama
murid-murid, saya juga kesulitan menjangkau jaringan internet karena ketiadaan
listrik yang lebih parah dibandingkan dengan saat di Tonte. Jalan yang belum
terbuka membuat desa kami sulit dijangkau sehingga distribusi bensin untuk
bahan bakar mesin diesel maupun genset di desa agak mandeg. Ketika ada mobil
yang kebetulan lewat, kami bisa mendapat cukup kiriman bahan bakar untuk
membuat desa terang selama beberapa waktu. Tapi, jika tidak, kami harus
menyabarkan diri hidup tanpa listrik beberapa hari.
Meskipun banyak rumah sudah menggunakan lampu bertenaga
surya (lampu TS), beberapa lainnya masih setia menggunakan pelita karena belum
mampu membeli lampu TS. Kami juga memerlukan listrik untuk mengisi baterai handphone. Tapi, selain untuk
kepentingan pencahayaan dan charge hp,
kami sudah cukup bahagia dengan apa yang ada di sini.
0 comments:
Post a Comment