Pages

Monday, 24 February 2014

A New Beginning

     Saya telah sampai di Dusun Kolatuku/Kolotuku, Desa Kiraman, setelah perjalanan sehari penuh yang seru. Meski Sabtu malam kemarin saya telah tiba, baru sekarang saya punya kesempatan untuk menuliskan pengalaman saya menuju tempat ini karena banyaknya pertemuan yang saya hadiri sejak tiba di sini.
     Pukul 06.30 WITA, perahu motor yang saya tumpangi telah berangkat dari Pelabuhan Kalabahi menuju Desa Kiraman. Saya sangat bersyukur, ombak tidak seganas beberapa hari lalu, ketika saya kembali dari Pulau Pantar. Hanya hujan sedingin es yang membuat saya gentar menghadapi perjalanan ini. Awak kapal terpaksa menutup sisi kiri dan kanan perahu motor dengan terpal karena seluruh penumpang mulai basah kuyup tersiram hujan dan percikan ombak.
     Menjelang siang, cuaca mulai bersahabat. Meski masih gerimis, ombak tidak lagi ganas, dan matahari tak lagi tertutup awan. Saya dan Bapa Esrom, Kepala Sekolah saya yang baru, makan siang nasi dengan lauk ikan goreng. Sederhana, tapi nikmat. Dengan perut kenyang, saya tidur sepanjang sisa perjalanan, bersandar pada tiang kapal.
     Wajah saya mulai tersengat matahari yang meninggi hingga saya terbangun karena silau. Saat itulah, Bapa Esrom memberitahu saya bahwa kami telah sampai di pelabuhan Kiraman. Saya melihat sosok-sosok orang yang telah datang menjemput saya, salah satunya Ani, teman saya. Saya masih bertanya-tanya, bagaimana caranya dua tas dan koper besar nan berat yang saya bawa bisa sampai ke Kolatuku nanti, sementara di sini tidak ada angkutan umum maupun ojek.
     Dua tas saya langsung disambar oleh Bapa Beni, salah satu guru yang akan menjadi rekan mengajar saya di SD Negeri Kolatuku dan seorang mama yang ikut menjemput, sementara bungkusan berisi pelampung saya telah diangkut seorang murid SD saya. Kopor yang besar itu, dipanggul Bapa Lukas, rekan guru saya yang lain.
     Kami mampir ke rumah seorang guru di sana untuk makan dan istirahat sejenak. Bapa Esrom mengatakan, bahwa koper akan ditinggal di rumah itu. Nanti sore atau besok, akan ada pemuda yang membawakannya ke rumah di Kolatuku. Kami tidak perlu direpotkan oleh barang besar itu, katanya. Saya mengiyakan saja.
     Saya telah diingatkan, bahwa perjalanan ke Kolatuku sangat panjang dan melelahkan. Sesore itu baru berangkat dari Kiraman, kami baru akan tiba di Kolatuku setelah malam menjelang. Saya tidak ingin memikirkan, berapa jauh jarak yang harus kami tempuh atau berapa lama kami harus berjalan.
     Bersama Ani dan para penjemput saya yang lain, saya berjalan dengan gembira. Memang, adakalanya saya mulai ngos-ngosan, kaki sepertinya memprotes beratnya perjalanan itu, dan kepala saya terasa pening. Pening kepala itu saya anggap karena masih terpengaruh perasaan terombang-ambing dalam perjalanan laut dari Pulau Pantar yang mengerikan. Keberadaan orang-orang yang menemani saya sepanjang jalan ini membuat saya melupakan lelah yang mendera.
     Benar saja, langit telah gelap dan mata saya mulai buta arah ketika Ani memberitahu saya, bahwa kami, akhirnya, telah sampai. Beberapa warga yang telah pulang dari kebun, menanti saya di depan rumah, menyalami dan menyambut kedatangan saya dengan ramah, termasuk Kepala Dusun.
     Samar-samar, saya melihat gedung sekolah saya yang baru. Saya diajak beristirahat di sebuah bale-bale kayu beratap rumbia yang besar. Katanya, itu gudang gereja. Saya melirik handphone untuk mengetahui waktu. Pukul 18.34. Rupanya, kami telah berjalan kaki selama 4 jam, naik-turun gunung. Saya membandingkan, jarak Kiraman-Kolatuku, tampaknya sama jauhnya dengan jarak Tamakh-Tonte. Sayangnya, di Kiraman belum ada warga yang memiliki motor dan berprofesi sebagai ojek desa.
     Saya berharap, bisa langsung mandi begitu tiba. Apalagi, saya harus menghadiri pertemuan dengan pemuka desa sebagai prosesi penerimaan kehadiran saya di dusun ini. Maksud saya, mumpung tubuh masih panas dan berkeringat, lebih baik langsung mandi, karena udara telah terasa dingin menusuk. Saya khawatir, sifat saya yang malas mandi akan menjadikan dinginnya udara sebagai pembenaran untuk tidak mandi malam itu.
     Sayangnya, saya memang tidak diijinkan mandi, karena para pemuka desa mulai berdatangan. Saya duduk di bale-bale bersama mereka. Mulai kedinginan dan sudah memutuskan tidak usah mandi saja. Kami menikmati teh dan kopi panas dengan jagung rebus. Seperti di Tonte, jagung di sini keras, tapi jagung Kolatuku lebih manis.
     Seperti yang telah saya dengar dari Ani tentang Dusun Kolatuku, warga di sini ramah dan hangat. Mereka lebih terbuka menerima saya dan kehadiran saya diterima melalui sebuah pertemuan khusus yang khidmat. Kami berkumpul, duduk bersama, berdoa, lalu makan jagung bersama setelah mereka mempersilakan saya memperkenalkan diri. Mereka bertanya alasan kepindahan saya, menjelaskan alasan mereka bersedia menerima saya, dan mengajak saya mengobrol tentang diri saya maupun tentang Dusun Kolatuku secara umum.
     Keesokan siangnya, setelah semua warga selesai kebaktian di gereja dan makan siang, kami dikumpulkan kembali. Karena semalam tidak semua warga hadir pada pertemuan, maka Minggu siang saya diajak berkenalan dengan warga Dusun Kolatuku. Banyak orang yang hadir dan saya merasa seperti Donal Bebek di Disneyland yang diperhatikan orang-orang ke manapun saya pergi, apapun yang saya lakukan.
     Ketua Komite Sekolah mempersilakan saya memperkenalkan diri sekali lagi kepada warga dusun dan membuka kesempatan bagi warga yang ingin bertanya-tanya tentang beberapa hal yang lebih personal. Beberapa warga dengan malu-malu bertanya tentang warna favorit, makanan kesukaan, sampai status hubungan yang saya jawab dengan, “Hampir.”
     Memang, setiap kali ada orang yang bertanya, “Maaf, Ibu sudah punya calon (suami)?” saya selalu menjawab ada, meski saya 100% jomblo tidak laku. Itu karena, ketika pada satu kesempatan saya menjawab “Belum punya calon,” maka orang yang bertanya itu mulai merekomendasikan semua bujangan yang dikenalnya, mulai dari anaknya sendiri, keponakannya, kemenakan jauh, sampai anak tetangga atau saudara jauh dari tetangganya. Saya telah dipesan untuk tidak memberi peluang perjodohan semacam itu, karena tugas saya di sini mengajar dan mengadakan program kemasyarakatan. Sejak saat itu, untuk setiap pertanyaan tentang calon itu, saya selalu menjawab, “Hampir,” (hampir karatan jadi jomblo).
***
     Murid-murid saya adalah anak-anak yang ceriwis. Beda dengan murid di tempat saya yang dulu yang sangat pendiam dan pemalu. Enam bulan mengajar mereka, saya tidak mampu membuat perubahan sikap pada perilaku anak-anak tersebut.
     Murid-murid saya sangat mengagumi kulit saya yang lebih terang daripada kulit mereka dan lebih wangi daripada semua kulit yang pernah mereka baui, rambut saya yang lebih halus dan lebih lurus, tahi lalat di tangan dan kaki saya….
     Ketika siang tadi saya iseng jalan-jalan, beberapa murid melihat saya dan mengikuti saya ke mana-mana. Mereka bahkan tidak malu-malu menggenggam kedua tangan saya, berjalan beriringan bersama sama. Mereka mengoceh banyak hal, mengomentari fisik saya dengan kagum, mengajari saya beberapa kalimat dalam bahasa Kolatuku. Salah satu hal yang luar biasa dari NTT adalah banyaknya jumlah bahasa daerah yang dimiliki. Kabupaten Alor saja, kalau tidak salah ingat, memiliki 54 bahasa daerah. Itu belum termasuk bahasa daerah yang telah punah.
     Salah satu murid saya berseru heran ketika mereka membelai-belai rambut saya saat saya berbaring di bale-bale gudang di rumah yang ditempat Ani (kami tinggal di rumah orang tua angkat yang berbeda). Awalnya, mereka terheran-heran dengan rambut saya yang terasa sangat halus di tangan mereka. Ketika mereka menyibak rambut saya, mereka mulai mengoceh ribut tentang kulit kepala saya.
     “Iiii… Ibu pu kulit kepala, putih macam susu!” (Iiii… Kulit kepala Ibu putih seperti susu).
     Kemudian mereka meraba telapak kaki saya dan berkata, "Ibu pu telapak, licin." (Telapak kaki Ibu licin). Saya agak geli juga mendengar komentar tentang telapak kaki yang licin itu. Mungkin maksud mereka, telapak kaki saya halus, beda dengan telapak mereka yang lebih kasar karena mereka sering bermain tanpa alas kaki.
     Mereka juga terus-menerus mengatakan bahwa saya cantik. Huahaha… Anak-anak memang tidak pernah berbohong.
     Pada intinya, dengan segala perbandingan antara Dusun Kolatuku ini dan desa tempat saya bertugas sebelumnya, saya jauh, jauh lebih bahagia berada di sini. Saya dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan bersikap lebih terbuka pada saya. Padahal, jika dilihat dari segi tingkat pendidikan yang pernah dienyam, para orang tua di sini sama saja tingkat pendidikannya dengan orang-orang di desa saya dulu. Banyak di antara mereka yang juga tidak lulus SD, tapi mereka lebih beradab.
     Di sini, saya banyak mengobrol, banyak tertawa. Saya tidak lagi terkurung di rumah; tidak lagi merasa stress dan tertekan; tidak lagi merasa jenuh; tidak lagi merasa galau. I’m so much happier!!!

0 comments:

Post a Comment