Pages

Friday, 21 February 2014

Perjalanan Baru

     Rabu dan Kamis tanggal 19-20 Februari kemarin adalah dua hari yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Bagaimanapun, efeknya masih terasa sampai hari ini. Yah, badan saya remuk redam setelah melakukan perjalanan gila-gilaan selama dua hari itu. Saya bahkan curiga pantat saya memar. Huf…
     Selasa kemarin saya mendapat panggilan dari Kepala Dinas Pendidikan Alor, Bapak Albert N. Ouwpoly. Saya dipanggil berkenaan dengan permohonan saya untuk pindah tempat tugas dari SMP Satap Tonte, Pantar Timur, Alor, ke tempat tugas baru di Kolotuku, Desa Kiraman, Kec. Alor Selatan (Alsel). Tidak sulit. Menjelang siang, saya telah mengantongi surat yang berisi SK penempatan saya yang baru.
     Saya segera bersiap dan berangkat ke Tonte keesokan harinya, Rabu, 19 Februari. Laut agak tenang, seperti biasa, sepanjang Teluk Mutiara. Mendekati Pulau Pura, permukaan laut terlihat beriak. Semakin memasuki lautan lepas, gelombang semakin besar.
     Awalnya, saya mencoba untuk tenang. Tapi, ketika saya merasakan ayunan ombak yang mengkhawatirkan, saya mulai membuka plastik besar yang membungkus pelampung saya. Tidak peduli penumpang lain di perahu motor yang saya tumpangi menertawai, saya tetap (pura-pura) kalem dan memakai pelampung warna jingga yang norak itu. Mereka mungkin saja tenang karena bisa berenang. Lha, saya paling jago renang gaya batu dan gaya dada alias gaya “melambai”, saya tidak mau bertaruh nyawa.
     Turun dari perahu motor di pelabuhan di Desa Tamakh, saya langsung naik ojek ke Tonte. Satu setengah jam yang menyiksa, melewati jalan bebatuan yang longsor, kubangan lumpur, dan jatuh 3 kali.
     Saya tidak berlama-lama di desa. Segera setelah bertukar kabar dengan Bapa Obet, saya langsung berkemas dan pamit. Kali ini, saya naik ojek orang asli Tonte yang sudah ahli bermanuver di medan berat seperti Tonte. Tapi, meski ahli, meski jago, meski tidak pernah menjatuhkan saya sedikitpun, ojek yang satu ini agak slebor. Tahu kalau dirinya expert melewati jalanan berbatu-berlumpur, dia membawa motor agak ngebut, tidak peduli saya terlempar-lempar di belakang. Alhasil, begitu turun rumah Ibu Nur di Desa Nule, saya terpaksa berjalan mengangkang karena sakit di sekujur tubuh. Saya yakin, di bawah sana, pantat saya sudah babak-belur.
     Menginap semalam di Nule, saya bertukar cerita dengan Ibu Nur, lalu mengirimkan obat titipan Ibu Desi untuk Mama Tina. Pamit dengan Mama Tina pun, kesannya kurang greget. Baik Mama Tina maupun Bapa Obet, juga warga Tonte lainnya, menanggapi kepergian saya dengan biasa-biasa saja. Bapa Obet bahkan sepertinya terlihat agak lega. Saya sadar betul, beberapa bulan belakangan ini saya telah banyak merepotkan mereka. Karena saya datang tanpa sambutan, maka saya pun pergi tanpa pamitan. Hanya pamit pada Mama dan Bapa, juga Ibu Anto yang kebetulan sedang duduk-duduk di halaman rumah ketika saya lewat di depan rumahnya untuk melanjutkan perjalanan.
     Kamis pagi, saya telah duduk di perahu motor yang akan membawa saya kembali ke Kalabahi, ibukota Kabupaten Alor. Perahu motor ini membawa saya pada mimpi paling buruk yang saya alami.
Sejak sebelum berangkat, saya telah mengamati cuaca. Langit mendung, sesekali gerimis; lautan beriak lebih keras daripada bulan-bulan sebelumnya ketika kami belum memasuki musim hujan. Tidak sampai satu jam kemudian, saya berpengangan erat-erat pada tiang kapal karena kapal yang miring tajam ke kanan dan ke kiri. Angin bertiup kencang dan wajah saya sesekali terpercik buih ombak maupun rintik gerimis.
     Lagi-lagi, dengan muka pura-pura kalem dan tenang, saya mulai membuka plastik pembungkus pelampung. Tidak peduli beberapa bapak yang juga menumpang perahu motor nyengir meremehkan, saya tetap memakai pelampung. Seorang ibu-ibu hamil tua adalah satu-satunya orang yang terlihat lebih takut daripada saya.
     Ia berkali-kali berteriak, “Tuhan, tolong!” atau “Yesus, tolong!” atau “Dalam nama Ibu!” atau “Ya, Bapa, tolong kami!”
     Saya makin stress mendengar teriakannya. Terutama setelah ia mulai terlihat menahan sakit di perutnya. Pastilah ini gara-gara ketakutannya yang besar, bayi yang ada di dalam perutnya juga ikut-ikutan mulas. Saya berkata dalam hati, “Gawat kalau sampai ibu ini mendadak melahirkan di sini.” Tapi, kalau memang harus demikian, saya akan mengusulkan satu nama: Johanis Laut Garang. Gagah, bukan? Biar anak itu terkenang dengan hari kelahirannya.
     Ketika keadaan mulai tenang, saya pikir ya sudah. Kami bisa bernapas lega. Ternyata, belum. Laut sepertinya tidak rela mengijinkan kami lewat sebelum ada penumpang yang muntah cairan kuning. Ada sekitar 4 titik di mana arus laut mengganas, meskipun air di sekitar titik itu tenang. Maka, tidak salah jika saya memutuskan untuk minum sebutir obat anti mabuk sebelum naik perahu motor untuk berjaga-jaga.
     Akhirnya, setelah perjalanan gila-gilaan itu, kami merapat di pelabuhan Kalabahi. Pucat, lesu, dan gemetar, tapi sepenuhnya bersyukur masih bisa bernapas dan menceritakan pengalaman tersebut. Daaaaaannnnnn… besok pagi buta, saya akan memulai perjalanan panjang yang tak kalah seru ke tempat tugas baru saya, SD Negeri Kolotuku, Kiraman, Alor Selatan! Yay!!!

0 comments:

Post a Comment