Pages

Saturday, 15 February 2014

I (Hate) Take this Fate

     Saya menulis kata “hate” pada judul di atas dalam tanda kurung. Sebetulnya, saya ingin menulisnya dengan menggunakan strikethrough seperti ini. Tapi, karena saya tidak mengerti caranya, sementara saya tulis demikian adanya, hingga ada pembaca yang budiman sedia mengajari saya. Hehe….
      Oke, lanjut.
     Saya benci guru. Bukan dari segi profesinya. Saya tetap setuju, guru merupakan profesi yang mulia. Yang saya benci adalah pribadinya. Ketika saya melalui masa-masa pendidikan dari TK sampai SMA, ada banyak guru yang membuat saya kecewa dan merasa diabaikan. Saya kasihan pada orang tua saya yang telah mengeluarkan biaya hanya untuk mendapati bahwa anaknya mendapatkan pendidikan yang tidak memuaskan.
     Yang paling tidak saya suka dari seorang guru adalah sifat pilih kasih. Yang berada dalam urutan pertama daftar murid kesayangan, tentu saja, anaknya sendiri. Di bangku TK, saya mengalami kejadian tidak mengenakkan berkenaan dengan pilih kasih ini.
     Dari kecil (sampai sekarang), saya tergolong anak bodoh dan pelupa. Sifat pelupa itu 50% dikarenakan saya sering melamun dan hidup dalam dunia khayal. Alhasil, hal-hal kecil seperti menggunting kuku secara rutin, sering kali saya lupakan.
     Sialnya, ketika saya lupa menggunting kuku, guru di sekolah justru mengadakan pemeriksaan kuku. Hal paling lumrah terjadi ketika murid lupa menggunting kuku adalah guru memukul jari-jari si murid dengan penggaris kayu.
     Yang mengesalkan, teman yang duduk di sebelah saya juga lupa menggunting kuku, tapi lolos dari pemeriksaan entah bagaimana. Kemudian saya ingat, dia anak si Ibu Guru. Dia nyengir lebar. Saya mendongkol dalam hati. Saya telah berusaha menyembunyikan kuku-kuku saya yang panjang dan agak kotor, tapi anak itu mengadu pada ibunya. Saya kemudian melihat kukunya yang juga panjang dan kotor, dan mencoba mengadukan hal ini pada Ibu Guru. Yang ada, saya malah dapat bonus pukulan penggaris kayu di kepala.
     Orang-orang jaman dulu tentu beranggapan hukuman semacam ini sudah biasa, ringan, tidak ada apa-apanya dibanding di jaman dulu. Guru jaman dulu jauh lebih garang. Tetap saja, saya ingin guru juga mampu menjadi seorang hakim yang adil dan jujur.
     Saat SD, ada Pak Guru yang hanya menyenangi anak perempuan yang cantik. Dia sering duduk di bangku halaman sekolah, menyilangkan kaki dengan lagak berkuasa, merangkul murid-murid perempuan di kanan-kirinya. Di usia itu, saya iri karena saya tidak pernah bisa duduk di sebelah guru seperti teman-teman perempuan lainnya. Rasanya menyenangkan menjadi murid kesayangan seorang guru. Tapi, ketika saya sudah lebih dewasa dan mulai memahami isi kepala laki-laki, saya tak lagi iri pada momen itu.
     Di SMP, seorang guru Bahasa Indonesia, terang-terangan menyebut salah satu teman sekelas saya dengan kata “pangeran” saking sukanya ia pada teman saya ini. Jika ia sedang menugasi kami mengerjakan soal di kelas, ia akan mengabaikan siswa perempuan yang bertanya tentang soal yang tidak dimengerti, tapi dengan senang hati mendekati bangku si Pangeran dan bertanya kalau-kalau Pangeran mengalami kesulitan mengerjakan soal. Padahal, Ibu Guru ini sudah tua dan punya cucu! Tapi, kami mencoba bijak dan menanamkan (setengah) keyakinan, bahwa ini adalah caranya bercanda dengan murid.
     Saat SMA, ceritanya mirip-mirip. Ada seorang guru perempuan yang baik dan ramah hanya pada murid laki-laki yang ganteng dan murid perempuan yang jelek. Kepada murid laki-laki yang jelek dan murid perempuan yang cantik, dia akan bersikap judes dan tak acuh. Suatu hari, saya iseng menyapanya saat jam istirahat. Ia balas menyapa saya dengan keramahan yang terlalu dibuat-buat, bahkan sampai merangkul pundak saya. Ini sikap yang jarang terjadi ditunjukkannya. Saya jadi tahu, saya masuk kategori yang mana.
     Teman-teman menertawakan kejadian ini. Salah seorang teman kemudian mengingatkan, bahwa rambut saya (saat itu) jingkrak. Dengan kacamata minus dan perangai seperti laki-laki, banyak yang bilang saya mirip, lantas memanggil saya: Harry Potter. Beberapa, bahkan terang-terangan bilang saya ganteng. Entah karena saya terlihat tampan (mengesampingkan fakta bahwa saya perempuan) atau karena saya terlalu jelek, si Ibu Guru bersikap kelewat ramah, saya tak mau tahu. Yang jelas, sejak saat itu, saya enggan dekat-dekat dengannya.
     Sifat guru berikutnya yang menurut saya menyebalkan adalah suka sok killer. Saya sama sekali tidak mengerti mengapa mereka mendapatkan semacam kepuasan tersendiri jika berhasil menyandang gelar ini. Masuk kelas selalu dengan wajah cemberut, menulikan diri dari segala bentuk alasan yang diberikan murid kalau mereka lupa membuat PR, dan tidak malu berkejar-kejaran dengan murid yang diam-diam berhasil melewati gerbang sekolah setelah bel masuk berbunyi. Yang terakhir itu, saya alami sendiri.
     Guru Matematika saya di bangku SMA, punya kebiasaan memonitor koridor kelas begitu bel masuk berbunyi. Ia mencari-cari murid yang masih berkeliaran di luar kelas, tidak peduli apapun alasan si murid, kebelet pipis, mulas, dll. Jika ada siswa yang berhasil “tertangkap”, ia harus menanggung ledekan dari teman-temannya saat ia dijemur di bawah tiang bendera, lalu membersihkan WC sekolah.
     Ada masa-masa pada tahun ketiga saya di SMA, saya selalu tiba di sekolah TEPAT saat bel masuk berbunyi. Pak Guru Matematika ini, sebut saja Pak Bambang, sudah berpatroli mengelilingi sekolah. Beruntung saya ikut ekstrakurikuler Pencak Silat dari kelas 10. Satpam sekolah yang menjadi pembina ekstrakurikuler Pencak Silat, selalu memberi tahu ke mana Pak Bambang berpatroli, sehingga saya bisa menuju kelas melalui arah yang berlawanan. Ibaratnya, kami main kucing-kucingan.
     Masih banyak cerita lain tentang guru yang (sok) killer. Hanya saja, yang saya alami sepertinya hal lumrah. Banyak murid lain yang pernah menghadapi guru semacam ini, bahkan ada juga yang pernah menghadapi guru yang lebih killer. Tetap saja, bagi saya killer bukanlah sebuah kemutlakan untuk membuat murid menurut atau rajin belajar ataupun berdisiplin. Well, itu terserah masing-masing guru, sih. Saya hanya berpandangan demikian.
     Berikutnya, guru mesum. Okelah, kalau berbicara sedikit vulgar di kelas yang dipenuhi anak-anak SMP atau SMA yang sudah mulai gelisah dengan perubahan fisik dan hormonnya. Pembahasan materi pelajaran tertentu yang ada sangkut-pautnya dengan perkembangan remaja, terutama pelajaran Biologi yang membahas materi tentang reproduksi, memiliki pesonanya sendiri, terutama bagi remaja laki-laki. Saya sering mendapati teman laki-laki saya nyengir puas setiap guru Biologi mulai membahas topik yang satu ini. Sementara, teman perempuan lebih antusias jika guru BK masuk kelas dan membahas tentang perkembangan psikis remaja: cinta, kesetiaan sahabat, pencarian jati diri, dan sebagainya yang menyangkut perasaan labil seorang remaja.
     Lain cerita kalau guru bicara vulgar di hadapan murid SD, seperti yang pernah saya alami. Saya masih kelas 4 SD ketika itu, sudah menguasai Bahasa Bali untuk percakapan ringan sehari-hari, ketika guru Bahasa Bali, sebut saja Pak Teguh, masuk kelas dan menceritakan sebuah “dongeng” yang membuat saya geleng-geleng kepala sampai saat ini.
     Saya masih ingat detil ceritanya: tentang percakapan sepasang suami-istri yang ingin punya anak, lalu pergi berkonsultasi ke dokter. Awalnya, saya tidak mengerti cerita itu, karena muncul kata-kata seperti “jarum”; si dokter menyuntikkan jarum super-besar dan si istri berteriak-teriak genit. Kelas riuh selama 2 jam pelajaran gara-gara cerita itu. Teman-teman perempuan saya berteriak-teriak geli gara-gara cerita itu, tapi sepenuhnya tertawa puas bersama teman-teman pria di kelas. Ketika saya SMA, saya teringat cerita itu dan baru sepenuhnya paham maksud cerita guru saya itu.
     Ada pula guru yang betul-betul mesum secara harfiah. Ini saya alami ketika menjadi guru honor menjelang wisuda. Salah satu rekan kerja saya terlibat affair dengan guru lain yang sekolahnya berdekatan dengan sekolah tempat saya mengajar. Semua hal yang akan membuatnya dipecat, bahkan diperkarakan, ia punya: bukti video, saksi mata, pengakuan… Semuanya ia dokumentasikan sendiri dengan baik. Saya menyesali sikap pengecut saya yang tidak mengadukan perbuatannya. Hanya saja, saya ingat, dia punya anak dan istri yang harus dinafkahi.
     Sifat guru berikutnya yang saya sebalkan adalah suka main tangan. Ketika saya melihat teman-teman saya dipukul, entah dengan tangan kosong ataupun dengan alat tertentu, saya ketakutan. Tapi, ketika suatu kali saya melihat dari dekat, bagaimana guru olahraga saya di SD memukul tengkuk salah satu teman saya dengan gagang sapu ijuk hingga kayunya patah, saya membenci guru itu. Awalnya, saya meledek teman saya itu karena dia memang membuat onar di kelas dan mengganggu kami, murid perempuan.
     Keadaan menjadi tidak terkendali dalam 15 menit. Murid laki-laki mulai bertengkar dan saling melemparkan bangku kelas ke lawan masing-masing. Inilah yang membuat guru olahraga saya marah dan menghukum semua murid laki-laki. Dari pengaduan murid perempuan, Pak Guru mengetahui jika dalang keributan itu adalah Cahyo, sebut saja begitu. Pak Guru memukul tengkuknya dengan gagang sapu hingga gagang sapu itu patah pada pukulan ketiga. Cahyo menangis terisak hingga liurnya menjadi gelembung di bibirnya. Menjijikkan, tapi saya kasihan melihat Cahyo dipukul demikian rupa.
     Kebencian saya terhadap guru yang suka main tangan itu semakin besar ketika saya mulai mengajar sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta. Kepala Sekolah sendiri yang meminta saya memukul siswa jika diperlukan. Dia sendiri dengan bangga mengaku pada saya bahwa ia pernah melempar murid yang nakal dengan kursi. Kena atau tidak, saya tidak mau tahu lebih lanjut. Saya merasa jijik mendengar pengakuannya dan tidak memiliki rasa hormat pada atasan saya itu. Saya bersumpah, meski saya tidak pernah punya keinginan menjadi guru, meski saya menjadi guru karena bujukan orang tua, saya tidak akan pernah menyentuh murid dengan cara seperti itu.

0 comments:

Post a Comment