Berikut ini adalah resensi yang saya tulis sebagai salah satu tugas mata kuliah ketika saya semester 5. Saya sengaja tidak melakukan perbaikan pada tulisan ini, melainkan menampilkannya apa adanya. Ini karena bukan kesempurnaan yang saya cari, melainkan belajar menghargai proses yang saya jalani.
Identitas Buku
Judul :
Orang Miskin Dilarang Sekolah (Mimpi-Mimpi Tak Terjamah)
Penulis :
Wiwid Prasetyo (Prasmoedya Tohari)
Penerbit : DIVA Press
(anggota IKAPI)
Tahun terbit : 2009
Tebal :
450 hlm.
Satu lagi karya anak bangsa
yang menyoroti rapuhnya dinding-dinding dunia pendidikan Indonesia. Setelah
Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang sempat membuat dunia pendidikan
kalang-kabut (guru, siswa, dan pejabat pemerintah bidang pendidikan mendadak
gemar membaca), muncul sebuah karya baru yang tak kalah apiknya. Berangkat dari
kisah anak-anak Semarang yang terintimidasi keadaan: terpuruk kemiskinan orang
tua dan kehilangan hak belajar, Wiwid Prasetyo melahirkan novel berjudul
menyentil, Orang Miskin Dilarang Sekolah (Mimpi-Mimpi Tak Terjamah). Konon,
novel ini terinspirasi dari Tetralogi Laskar Pelangi.
Adalah Pambudi, Yudi, Pepeng,
dan Faisal, empat sekawan yang sangat akrab, seperti saudara laki-laki.
Pambudi, Yudi, dan Pepeng adalah anak Gedong Sapi, sebutan untuk mereka karena
tinggal di gedung tua peninggalan Belanda yang dialihfungsikan sebagai
peternakan sapi. Orang tua mereka adalah pekerja kasar di peternakan milik
seorang Cina tua yang kikir, Yok Bek. Setiap hari, mereka membantu orang tua
mereka yang sudah tua mengurusi sapi-sapi. Faisal sedikit beruntung karena meski
keluarganya sederhana, masih mampu menyekolahkan dan membebaskannya dari
“tradisi bekerja membantu orang tua”.
Sebuah peristiwa bermain
layang-layang membuat mereka bertemu Ki Hajar Ladunni, seorang ahli layangan
nyentrik yang hidup tersembunyi di tengah hutan dalam gunung bersama anaknya,
Candil, yang sama nyentriknya dengan ayahnya. Tak disangka, Candil, meski tubuhnya
kecil, dekil, sudah kelas 4 SD. Setiap tahun sekolahnya hanya ditempuh selama
setengah tahun saja. Kejeniusan Candil dimanfaatkan Faisal untuk melecut
kawan-kawannya agar punya keinginan belajar, bersekolah.
Pada awalnya, baik Pambudi,
Yudi, dan Pepeng dilema. Di satu sisi, keinginan mereka bersekolah, bisa
membaca, menulis, berhitung, begitu besar. Di sisi lain, ekonomi keluarga yang
morat-marit menjadi batu sandungan. Pambudi, sehari-harinya membantu ayahnya
mengurusi sapi-sapi Yok Bek. Yudi yang albino, selain ikut bekerja di Gedong
Sapi, membantu ibunya berjualan pisang goreng dan harus menerima ejekan orang-orang atas
kondisi tubuhnya yang tak biasa. Bagi Pepeng, siang adalah waktu menjamah
sapi-sapi. Malam hari, ia masih harus membantu ayahnya di pelabuhan mengangkuti
kelapa-kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan becak sejauh 25
kilometer. Dengan usaha keras seperti itu, keadaan ekonomi keluarga mereka
masih berada jauh di bawah garis kemiskinan. Bila hendak sekolah, uangnya dari
mana?
Tekad Faisal telah membatu:
teman-temannya harus sekolah! Mereka harus bisa baca-tulis. Harus bisa
berhitung. Hanya dengan itu, mereka akan terlepas dari kemiskinan, lepas dari
kewajiban mengabdi pada si Tua Kikir Yok Bek. Menulislah atau kau akan
menghilang dalam pusaran sejarah. Bila ingin menulis, harus bisa membaca dulu.
Harus bisa mengenali huruf-huruf. Untuk bisa membaca, harus sekolah. Faisal
terus menyemangati ketiga temannya untuk sekolah.
Jadilah Pambudi, Yudi, dan
Pepeng, murid baru kelas 1 di sekolah yang sama dengan Faisal, SD Kartini.
Hanya saja, Faisal yang lebih muda dari mereka sudah duduk di kelas 3. Jelas
mereka malu. Tapi, itu kemudian menjadi cambuk penyemangat bagi mereka untuk giat belajar.
Di kelas 1 ini, mereka bertemu
Kania, gadis cantik, si Cerdas Penyejuk Hati. Di hari pertama sekolah, ketiga
anak Gedong Sapi ini menuai bermacam celaan dan hinaan atas penampilan mereka:
seragam butut dengan lubang-lubang mungil mengintip di sana-sini, tas dari
karung gandum, dan sandal jepit. Bagi anak-anak SD Kartini yang rata-rata berasal
dari keluarga menengah, bahkan atas, Pambudi, Yudi, dan Pepeng, tidak pantas
sekolah. Anak sekolah seharusnya memakai seragam baru, apalagi ini tahun ajaran
baru. Sepatu dan alat tulis pun harus baru. Untung ada Kania yang membela
mereka.
Cinta monyet
Demi mendapat perhatian Kania,
anak-anak Gedong Sapi berlomba-lomba satu sama lain soal berpenampilan yang
membuat mereka lupa tujuan utama mereka sekolah. Mereka kemudian sadar dan
kembali belajar sungguh-sungguh. Namun, biaya sekolah lagi-lagi menjadi
hambatan mereka.
Rumah Yok Bek dan peternakannya
dirusak. Warga kampung mengamuk dan menghancurkan Gedong Sapi milik Yok Bek.
Mereka mengamuk karena menganggap bau kotoran sapi di peternakan itu mulai
mengganggu. Mereka telah meminta Yok Bek pindah tempat berbulan-bulan
sebelumnya. Tak ada tanggapan dari Yok Bek. Ia merasa dulu telah berjasa.
Membuat peternakan sapi yang memasok susu yang menyehatkan bagi penduduk
kampung, menciptakan lapangan kerja untuk mereka. Tapi itu dulu. Puluhan tahun
yang lalu. Warga kampung telah lupa kondisi kritis mereka dulu setelah Belanda
meninggalkan Indonesia, meninggalkan mereka dalam keadaan tak menentu.
Yok Bek kehilangan kejayaannya.
Kehilangan Gedong Sapinya. Orang tua anak-anak Gedong Sapi kehilangan
pekerjaan. Anak Gedong sapi terancam putus sekolah. Melihat usaha pisang goreng
Yudi laku keras di sekolah, mereka berjualan aneka makanan di sekolah dengan
sistem class to class (bukan door to door). Bisnis laku keras.
Tapi, mereka lagi-lagi lupa tugas utama mereka: belajar. Nilai mereka anjlok.
Mereka dihantam malu, terutama pada Kania, yang masih menjadi pujaan hati
mereka.
Novel Anak Miskin Dilarang
Sekolah ini mengangkat realita masyarakat, betapa sekolah masih menjadi sesuatu
yang mahal. Masih menjadi barang langka. Yang bisa mendapatkannya hanyalah
orang-orang berduit. Tak hanya itu, novel ini juga mengangkat sisi buruk di
tengah-tengah budaya Timur yang diagung-agungkan.
Diungkapkan, Kampung Genteng
dulunya adalah sebuah kampung tanpa langgar ataupun mushala. Masyarakatnya
tidak punya langgar yang bisa digunakan untuk sembahyang. Mereka tidak shalat,
bahkan buta huruf al-Qur’an. Masyarakat buta huruf. Judi masih jalan meski di
bulan Ramadhan. Sabung ayam bukan hal yang tabu dibicarakan di mana-mana.
Masyarakat bahkan masih lebih mempercayakan sakitnya pada seorang dukun atau
paranormal ketimbang dokter. Bahkan, kasus paedophilia pun tak luput
dari goresan pena penulisnya.
Diceritakan dengan bahasa yang
apik dengan sesekali diselingi sedikit bahasa Jawa, novel ini menarik untuk
dibaca. Apalagi, seringkali pula cerita disisipi kata-kata mutiara yang sangat
mengena hati dan menyejukkan, juga menggelorakan semangat.
Novel ini sekilas tampak mirip
dengan novel-novel pendahulunya yang menyoroti dunia pendidikan, seperti
Tetralogi Laskar Pelangi dan Mayan. Ketiganya sama-sama
mengisahkan anak-anak yang sangat ingin bersekolah, tapi harus menerima nasib
yang terpuruk kemiskinan. Dengan perjuangan yang berat, mereka mencoba melawan
kemiskinan.
Perbedaan geografis dan budaya
yang menjadikan novel ini berbeda dari Laskar Pelangi maupun Mayan. Bila Laskar
Pelangi mengambil setting di Belitong, yang nuansa budayanya kental
dengan budaya Melayu, dan Mayan mengambil setting di daerah Cina
pedalaman bekas daerah industrialisasi besar-besaran dari Mao Zedong, Orang
Miskin Dilarang Sekolah menjadikan Semarang sebagai setting. Dengan
budaya yang lebih umum, gambaran kehidupan masyarakat dalam novel ini tampak
lebih “berterima”. Dalam artian, bagi pembaca, ini lebih akrab.
Novel ini sangat baik untuk
dijadikan bahan renungan bagi masyarakat, pelajar, mahasiswa, calon-calon guru,
guru, pengamat pendidikan, dan pemerintah untuk merefleksi realita pendidikan
di negeri ini, bahwa betapapun pemerintah telah membuat program-program untuk
membantu meningkatkan taraf pendidikan Indonesia, pendidikan masihlah porselen
keramik kuno yang mahal, namun rapuh.

0 comments:
Post a Comment