Pages

Friday, 21 February 2014

Resensi Buku-Membeli Pendidikan



     Berikut ini adalah resensi yang saya tulis sebagai salah satu tugas mata kuliah ketika saya semester 5. Saya sengaja tidak melakukan perbaikan pada tulisan ini, melainkan menampilkannya apa adanya. Ini karena bukan kesempurnaan yang saya cari, melainkan belajar menghargai proses yang saya jalani.
 
Identitas Buku
Judul               : Orang Miskin Dilarang Sekolah (Mimpi-Mimpi Tak Terjamah)
Penulis            : Wiwid Prasetyo (Prasmoedya Tohari)
Penerbit          : DIVA Press (anggota IKAPI)
Tahun terbit     : 2009
Tebal               : 450 hlm.


Satu lagi karya anak bangsa yang menyoroti rapuhnya dinding-dinding dunia pendidikan Indonesia. Setelah Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang sempat membuat dunia pendidikan kalang-kabut (guru, siswa, dan pejabat pemerintah bidang pendidikan mendadak gemar membaca), muncul sebuah karya baru yang tak kalah apiknya. Berangkat dari kisah anak-anak Semarang yang terintimidasi keadaan: terpuruk kemiskinan orang tua dan kehilangan hak belajar, Wiwid Prasetyo melahirkan novel berjudul menyentil, Orang Miskin Dilarang Sekolah (Mimpi-Mimpi Tak Terjamah). Konon, novel ini terinspirasi dari Tetralogi Laskar Pelangi.
Adalah Pambudi, Yudi, Pepeng, dan Faisal, empat sekawan yang sangat akrab, seperti saudara laki-laki. Pambudi, Yudi, dan Pepeng adalah anak Gedong Sapi, sebutan untuk mereka karena tinggal di gedung tua peninggalan Belanda yang dialihfungsikan sebagai peternakan sapi. Orang tua mereka adalah pekerja kasar di peternakan milik seorang Cina tua yang kikir, Yok Bek. Setiap hari, mereka membantu orang tua mereka yang sudah tua mengurusi sapi-sapi. Faisal sedikit beruntung karena meski keluarganya sederhana, masih mampu menyekolahkan dan membebaskannya dari “tradisi bekerja membantu orang tua”.
Sebuah peristiwa bermain layang-layang membuat mereka bertemu Ki Hajar Ladunni, seorang ahli layangan nyentrik yang hidup tersembunyi di tengah hutan dalam gunung bersama anaknya, Candil, yang sama nyentriknya dengan ayahnya. Tak disangka, Candil, meski tubuhnya kecil, dekil, sudah kelas 4 SD. Setiap tahun sekolahnya hanya ditempuh selama setengah tahun saja. Kejeniusan Candil dimanfaatkan Faisal untuk melecut kawan-kawannya agar punya keinginan belajar, bersekolah.
Pada awalnya, baik Pambudi, Yudi, dan Pepeng dilema. Di satu sisi, keinginan mereka bersekolah, bisa membaca, menulis, berhitung, begitu besar. Di sisi lain, ekonomi keluarga yang morat-marit menjadi batu sandungan. Pambudi, sehari-harinya membantu ayahnya mengurusi sapi-sapi Yok Bek. Yudi yang albino, selain ikut bekerja di Gedong Sapi, membantu ibunya berjualan pisang goreng dan harus menerima ejekan orang-orang atas kondisi tubuhnya yang tak biasa. Bagi Pepeng, siang adalah waktu menjamah sapi-sapi. Malam hari, ia masih harus membantu ayahnya di pelabuhan mengangkuti kelapa-kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan becak sejauh 25 kilometer. Dengan usaha keras seperti itu, keadaan ekonomi keluarga mereka masih berada jauh di bawah garis kemiskinan. Bila hendak sekolah, uangnya dari mana?
Tekad Faisal telah membatu: teman-temannya harus sekolah! Mereka harus bisa baca-tulis. Harus bisa berhitung. Hanya dengan itu, mereka akan terlepas dari kemiskinan, lepas dari kewajiban mengabdi pada si Tua Kikir Yok Bek. Menulislah atau kau akan menghilang dalam pusaran sejarah. Bila ingin menulis, harus bisa membaca dulu. Harus bisa mengenali huruf-huruf. Untuk bisa membaca, harus sekolah. Faisal terus menyemangati ketiga temannya untuk sekolah.
Jadilah Pambudi, Yudi, dan Pepeng, murid baru kelas 1 di sekolah yang sama dengan Faisal, SD Kartini. Hanya saja, Faisal yang lebih muda dari mereka sudah duduk di kelas 3. Jelas mereka malu. Tapi, itu kemudian menjadi cambuk penyemangat bagi mereka untuk giat belajar.
Di kelas 1 ini, mereka bertemu Kania, gadis cantik, si Cerdas Penyejuk Hati. Di hari pertama sekolah, ketiga anak Gedong Sapi ini menuai bermacam celaan dan hinaan atas penampilan mereka: seragam butut dengan lubang-lubang mungil mengintip di sana-sini, tas dari karung gandum, dan sandal jepit. Bagi anak-anak SD Kartini yang rata-rata berasal dari keluarga menengah, bahkan atas, Pambudi, Yudi, dan Pepeng, tidak pantas sekolah. Anak sekolah seharusnya memakai seragam baru, apalagi ini tahun ajaran baru. Sepatu dan alat tulis pun harus baru. Untung ada Kania yang membela mereka.
Cinta monyet
Demi mendapat perhatian Kania, anak-anak Gedong Sapi berlomba-lomba satu sama lain soal berpenampilan yang membuat mereka lupa tujuan utama mereka sekolah. Mereka kemudian sadar dan kembali belajar sungguh-sungguh. Namun, biaya sekolah lagi-lagi menjadi hambatan mereka.
Rumah Yok Bek dan peternakannya dirusak. Warga kampung mengamuk dan menghancurkan Gedong Sapi milik Yok Bek. Mereka mengamuk karena menganggap bau kotoran sapi di peternakan itu mulai mengganggu. Mereka telah meminta Yok Bek pindah tempat berbulan-bulan sebelumnya. Tak ada tanggapan dari Yok Bek. Ia merasa dulu telah berjasa. Membuat peternakan sapi yang memasok susu yang menyehatkan bagi penduduk kampung, menciptakan lapangan kerja untuk mereka. Tapi itu dulu. Puluhan tahun yang lalu. Warga kampung telah lupa kondisi kritis mereka dulu setelah Belanda meninggalkan Indonesia, meninggalkan mereka dalam keadaan tak menentu.
Yok Bek kehilangan kejayaannya. Kehilangan Gedong Sapinya. Orang tua anak-anak Gedong Sapi kehilangan pekerjaan. Anak Gedong sapi terancam putus sekolah. Melihat usaha pisang goreng Yudi laku keras di sekolah, mereka berjualan aneka makanan di sekolah dengan sistem class to class (bukan door to door). Bisnis laku keras. Tapi, mereka lagi-lagi lupa tugas utama mereka: belajar. Nilai mereka anjlok. Mereka dihantam malu, terutama pada Kania, yang masih menjadi pujaan hati mereka.
Novel Anak Miskin Dilarang Sekolah ini mengangkat realita masyarakat, betapa sekolah masih menjadi sesuatu yang mahal. Masih menjadi barang langka. Yang bisa mendapatkannya hanyalah orang-orang berduit. Tak hanya itu, novel ini juga mengangkat sisi buruk di tengah-tengah budaya Timur yang diagung-agungkan.
Diungkapkan, Kampung Genteng dulunya adalah sebuah kampung tanpa langgar ataupun mushala. Masyarakatnya tidak punya langgar yang bisa digunakan untuk sembahyang. Mereka tidak shalat, bahkan buta huruf al-Qur’an. Masyarakat buta huruf. Judi masih jalan meski di bulan Ramadhan. Sabung ayam bukan hal yang tabu dibicarakan di mana-mana. Masyarakat bahkan masih lebih mempercayakan sakitnya pada seorang dukun atau paranormal ketimbang dokter. Bahkan, kasus paedophilia pun tak luput dari goresan pena penulisnya.
Diceritakan dengan bahasa yang apik dengan sesekali diselingi sedikit bahasa Jawa, novel ini menarik untuk dibaca. Apalagi, seringkali pula cerita disisipi kata-kata mutiara yang sangat mengena hati dan menyejukkan, juga menggelorakan semangat.
Novel ini sekilas tampak mirip dengan novel-novel pendahulunya yang menyoroti dunia pendidikan, seperti Tetralogi Laskar Pelangi dan Mayan. Ketiganya sama-sama mengisahkan anak-anak yang sangat ingin bersekolah, tapi harus menerima nasib yang terpuruk kemiskinan. Dengan perjuangan yang berat, mereka mencoba melawan kemiskinan.
Perbedaan geografis dan budaya yang menjadikan novel ini berbeda dari Laskar Pelangi maupun Mayan. Bila Laskar Pelangi mengambil setting di Belitong, yang nuansa budayanya kental dengan budaya Melayu, dan Mayan mengambil setting di daerah Cina pedalaman bekas daerah industrialisasi besar-besaran dari Mao Zedong, Orang Miskin Dilarang Sekolah menjadikan Semarang sebagai setting. Dengan budaya yang lebih umum, gambaran kehidupan masyarakat dalam novel ini tampak lebih “berterima”. Dalam artian, bagi pembaca, ini lebih akrab.
Novel ini sangat baik untuk dijadikan bahan renungan bagi masyarakat, pelajar, mahasiswa, calon-calon guru, guru, pengamat pendidikan, dan pemerintah untuk merefleksi realita pendidikan di negeri ini, bahwa betapapun pemerintah telah membuat program-program untuk membantu meningkatkan taraf pendidikan Indonesia, pendidikan masihlah porselen keramik kuno yang mahal, namun rapuh.

0 comments:

Post a Comment