Pages

Monday, 10 February 2014

Cita-Cita dari Masa ke Masa

     Nama pena saya Divia Bairavi. Saya telah memutuskan untuk tidak menggunakan nama asli karena sebuah alasan yang akan saya beberkan jika waktunya telah tepat. Sementara itu, silakan mengenal saya sebagai Divia. Saya berusia 24 tahun, 25 di Agustus nanti. Saya adalah seorang guru.

     Guru adalah profesi yang mulia. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Itu kata orang, selalu didengung-dengungkan sejak saya masih terlalu muda untuk mengingat, apalagi memahami ungkapan itu. Sekarang, betapapun banyaknya pemberitaan tentang guru yang menganiaya muridnya, atau tentang kecurangan pada saat pelaksanaan Ujian Nasional—yang terkadang juga melibatkan guru, atau tentang pemerkosaan siswa oleh gurunya sendiri, masih ada banyak orang rela mati demi menjadi guru. Sebagian lagi, terseret ke dalam profesi ini karena jebakan. Saya termasuk yang terakhir.

     Saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Saat TK, Ibu mencekoki pikiran saya bahwa profesi terbaik di dunia adalah menjadi polwan. Saya tidak mau. Saya lebih memilih jadi polisi. Itu profesi yang sama, sebetulnya. Hanya saja, saya tidak mengerti kenapa harus ada pembedaan penyebutan. Laki-laki maupun perempuan, polisi tetaplah polisi. Kalau ada polwan, kenapa tidak ada polki, polisi laki-laki, atau polria, polisi pria? Selain itu, saya enggan dengan sebutan polwan karena terdengar terlalu feminim. 

     Saya memilih jadi polisi. Kedengarannya gagah, dan seperti kebanyakan anak kecil lainnya pada jaman itu, saya juga kecanduan menonton Jiban dan Robocop. Bayangan yang tergambar dalam benak saya tentang menjadi polisi adalah berdiri gagah di tengah-tengah sekelompok penjahat yang sedang baku tembak dengan polisi, memakai kostum manusia lalat atau belalang seperti halnya Jiban atau Robocop, kebal peluru, dan mampu menembaki para penjahat tepat sasaran. Saya menjadi pahlawan karena berhasil meringkus kawanan penjahat itu.

     Hanya saja, saya kemudian mendapati bahwa polisi memakai seragam seperti seragam pramuka. Cokelat, rapi. Sepatunya memang oke, boots tinggi yang berat. Tapi, tidak ada lekuk-lekuk otot di lengan seperti Jiban, tidak ada kendaraan super keren seperti milik Robocop. Mereka juga tidak bisa berkomunikasi dengan sesama polisi lewat alat canggih di lengan. Intinya, kemudian saya menyadari bahwa polisi tidak sama seperti Jiban atau Robocop. Saya masih terlalu lugu untuk memahami kenyataan pahit ini, sehingga tidak berminat lagi menjadi polisi.

     Saat SD kelas 3, saya pindah sekolah ke Bali, tinggal dengan orang tua dan kakak. Umur dua minggu setelah dilahirkan, saya memang dibawa ke Jawa dan dirawat oleh nenek, jauh dari Bapak dan Ibu. Di sekolah yang baru ini, saya di-bully oleh teman-teman baru, terutama teman laki-laki, mulai dari rok diangkat, dipukul, dilempari batu, diledek, hingga diludahi. Yang terakhir itu, untungnya tidak sering. Bulan-bulan pertama, saya hanya bisa menangis, apalagi kakak saya menolak membela saya. Berikutnya, saya bangkit melawan dan menjadi kasar. Pada masa-masa jahiliyah ini, saya ingin sekali menjadi pembunuh bayaran. Saya sangat membenci teman-teman saya, juga guru-guru yang sangat pilih kasih. Saya ingin membunuh mereka, tanpa menyadari betul betapa berbahayanya gagasan ini. 

     Untungnya, jaman kegelapan ini berlalu. Tiba-tiba saja, televisi dipenuhi tontonan bulu tangkis. Taufik Hidayat, Susi Susanti, Yayuk Basuki, dan sederet atlet bulu tangkis lainnya, tampak jungkir-balik di televisi selama berminggu-minggu. Euphoria kemenangan Taufik Hidayat di pertandingan final benar-benar membuat saya menangis terharu. Mendadak, semua orang di rumah jadi rajin main bulu tangkis dan saya bermimpi menjadi penerus Susi Susanti.

     Saat duduk di bangku SMP, saya mulai mengenal basket. Basket terasa jauh lebih menarik dibandingkan bulu tangkis. Apalagi, saya kemudian diterima sebagai anggota tim basket sekolah dan mengikuti beberapa pertandingan mewakili sekolah. Teman-teman menjuluki saya “pencuri” karena saya memiliki kecakapan tersendiri merebut bola dari lawan. Tapi, kakak saya yang juga tergabung dalam tim, merasa tidak senang dengan kehadiran saya. Ia jago, tapi lelah dibayang-bayangi oleh adiknya. Ia bosan dibanding-bandingkan dengan saya. Dia playmaker, sehingga kami jadi sangat solid, karena bola curian saya selalu saya oper padanya. Tapi, sekali lagi, ia tidak suka dibayang-bayangi adik kandungnya sendiri. Demi kakak, saya mengalah. Saya mundur dari basket dan mulai lebih memusatkan perhatian pada kesenangan saya yang lain, menulis.

     Ekstrakurikuler jurnalistik sangat menarik bagi saya, terutama karena saya baru mengenal dunia jurnalistik ketika masuk SMP. Meski kakak juga anak mading, dia tergolong senior. Di sekolah, senior dan junior menghasilkan produk sendiri-sendiri. Senior punya mading, junior juga punya. Kami jarang bekerja bersama, kecuali kalau ada lomba. Sayangnya, kalau ada lomba mading atau kording, saya disisihkan oleh guru pembina, karena saya belum bisa menulis. Padahal, saya belum bisa menulis berita atau jenis tulisan lainnya, karena ia selalu menolak membimbing saya, entah karena apa.

     Saya merasa tidak diterima dan berkeinginan untuk mundur. Pada masa-masa krisis kepercayaan diri ini, Indonesia diguncang demonstrasi di mana-mana. Di televisi, saya melihat bagaimana mahasiswa berunjuk rasa di jalanan, melakukan atraksi teatrikal, membakar ban, dan melempari polisi dengan batu atau telur busuk. Unjuk rasa selalu berujung rusuh. Saat itulah, saya melihat tujuan hidup saya lebih jelas daripada sebelumnya. Tidak, saya bukannya lantas bercita-cita menjadi demonstran, meskipun sepertinya menarik juga jika kita memiliki kesempatan melampiaskan brutalitas yang tersembunyi dalam diri kita.

     Saya melihat, di antara demonstran yang kocar-kacir dikejar polisi atau disemprot air atau ditembak dengan gas air mata, ada sosok-sosok yang menarik perhatian saya. Membawa tas lusuh, celana kargo, menenteng kamera besar-besar, membawa note kecil untuk mencatat narasumber, naik ke pagar untuk mengambil gambar yang menarik saat para demonstran mencoba merubuhkan gerbang, para wartawan dari berbagai media mencoba merekam setiap detil peristiwa. Saat itulah, saya merasa, wartawan adalah pekerjaan paling keren sedunia. Saya menetapkan hati, saya ingin jadi wartawan!

     Sayangnya, Bapak dan Ibu langsung menentang keinginan ini.

     “Nanti kamu dikirim ke daerah konflik untuk meliput perang, terus kena peluru nyasar, gimana?” pekik Ibu histeris.

     “Saya kan ikut PMI juga, Bu. Bisa mengobati diri sendiri.” Saya berusaha kalem menghadapi Ibu yang histeria.

     Bapak tidak mau kalah. “Wartawan itu jam kerjanya tidak tetap. Apalagi, mereka lebih banyak di jalanan.”

     “Justru itu. Saya tidak ingin kerja di dalam kantor terus. Semakin sering keluar, semakin baik.”

     Pembicaraan ini terlalu serius bagi saya yang masih kelas 1 SMP. Baik Bapak maupun Ibu, mulai gemas melihat perlawanan saya. Saat itu, dari raut wajah mereka, saya tahu, mereka telah berketetapan hati untuk mencegah saya menjadi wartawan. Sementara, menyadari ketidaksetujuan mereka, saya pun menetapkan tekad, tidak akan pernah membiarkan mereka menghalangi saya jadi wartawan.

0 comments:

Post a Comment