Selama beberapa minggu ini saya disibukkan oleh harddisk yang sepertinya sudah mau
muntah dipenuhi oleh file-file yang sebenarnya tidak terlalu penting. Saya sebenarnya
bukan seseorang yang ketagihan film. Menonton film hanyalah salah satu cara
supaya saya bisa makan dengan nikmat. Oke, kedengarannya “tidak nyambung”. Tapi, saya tergolong orang
yang pada waktu-waktu tertentu sulit makan. Jadi, menonton film berfungsi ganda
pada masa-masa seperti ini, yaitu untuk menambah selera makan dan mengalihkan pikiran
dari makanan yang tidak ingin saya makan.
Nah, seorang kawan suatu hari datang membawa harddisk external yang penuh dengan film, mulai dari film barat, Indonesia, bollywood, Korea, Thailand, documenter,
sampai film-film kartun. Meski bukan penggila film, saya tetap beraksi
gila-gilaan dengan menggandakan film-film tersebut ke dalam laptop saya yang
kapasitasnya hanya 500 GB. Dengan banyaknya file film yang ganda karena
penamaan folder yang sedikit berbeda, saya harus merapikan folder-folder itu
supaya ada space yang tersisa. Sambil
merapikan file, saya pikir, akan lebih bermanfaat bila saya berbagi pengalaman
menonton film-film tersebut.
Ini adalah review
film saya yang pertama. Saya memutustkan untuk sesekali juga menulis tentang
buku bacaan maupun film yang menurut saya layak dibaca dan ditonton pelajar.
Nah, berikut satu film yang saya rekomendasikan untuk ditonton pelajar.
Judul Film : A Crazy Little Thing Called Love
(First Love)
Pemain : Pimchanok Lerwisetpibol, Mario Maurer, Acharanat Ariyaritwikol
Sutradara : Sudarat Budtporm
A Crazy Little Thing Called Love adalah sebuah film drama
remaja dari Thailand. Bercerita tentang seorang gadis SMP bernama Nam (Pimchanok
Lerwisetpibol) yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Shone (Mario
Maurer), kakak kelasnya. Sebagai remaja yang berkulit hitam, jelek, dan sangat
tidak populer, Nam pesimis cintanya akan diterima. Meski demikian, ia tidak
berhenti berusaha untuk membuat Shone meliriknya.
Berbagai upaya dicobanya, dibantu ketiga sahabat yang setia padanya,
Cheer, Gim, dan Nim, mulai dari mengubah penampilan, ikut klub drama yang
sangat tidak diminati, hingga menjadi mayoret marching band. Hanya saja, ia punya pesaing berat, Faye, teman
seangkatannya yang cantik dan putih. Gara-gara Faye, Nam yang semula hendak
masuk klub menari bersama teman-temannya, diusir dari antrean dan dilarang
bergabung. Guru In lantas membujuknya masuk klub drama.
Awalnya, Nam dan kawan-kawan tidak berminat, karena klub
drama diikuti oleh murid-murid yang jelek dan tidak populer. Jelas ini tidak
akan menguntungkan Nam dalam usahanya merebut perhatian Shone. Tapi, demi
mengetahui bahwa Shone terlibat sebagai salah satu penata panggung untuk pementasan
drama klub itu pada festival sekolah, Nam berubah pikiran dan berusaha keras
memainkan perannya.
Sebagai pemeran utama, Nam diharuskan tampil cantik. Pin,
teman sekelas Shone lantas diminta untuk membantu memperbaiki penampilan Nam.
Pin yang pandai berdandan berhasil mengubah Nam terlihat lebih cantik. Namun,
itu tak jua membuat Shone melancarkan aksi pendekatan pada Nam.
Konflik mulai muncul ketika teman masa kecil Shone, Top,
datang dan bersekolah di sekolah yang sama dengan Nam dan Shone. Kehadiran Top
membuat banyak gadis tergila-gila padanya. Mereka yang awalnya kesengsem pada Shone, mulai berpaling
pada Top. Apalagi, Top tergolong genit pada gadis-gadis dibandingkan Shone.
Top yang menonton pementasan drama Nam, jatuh hati padanya.
Dalam waktu singkat, ia meminta Nam menjadi pacarnya. Nam yang menemukan
catatan Top pada tasnya, mengira Shone yang memintanya bertemu sepulang
sekolah. Top meminta Nam menjadi pacarnya. Nam panik menghadapi keadaan itu dan
tidak memberi jawaban, meski Top telah berkata, bahwa jika Nam tidak menjawab,
itu artinya ia bersedia.
Selama beberapa bulan, Nam menjadi pacar Top, meski ia
sendiri tidak menganggap dirinya jadian dengan Top. Kedekatannya dengan Top
membuatnya jadi lebih sering bertemu dengan Shone sehingga mereka menjadi lebih
akrab.
Sayangnya, kedekatan mereka harus dibayar mahal. Nam yang
lebih memilih piknik bersama Shone dan kawan-kawannya, meninggalkan Cheer di
hari ulang tahun Cheer, padahal Cheer memesan kue kesukaan Nam sebagai kue
ulang tahunnya. Cheer marah dan menolak berteman dengannya lagi. Pada masa-masa
itu, Nam juga marah pada Top karena mencium pipinya tanpa ijin.
Nam mulai kehilangan teman. Cheer tidak mau lagi bicara
dengannya. Gim dan Nim setia di sisi Cheer. Top yang sakit hati meminta Shone
untuk berjanji, apapun yang terjadi, ia tidak boleh pacaran dengan Nam. Shone
setuju dengan permintaan sahabatnya itu. Pada masa-masa sulit itu, Nam yang
tertekan belajar mati-matian untuk meningkatkan nilainya di sekolah. Ayahnya
yang sudah 5 tahun tidak pulang karena bekerja di Amerika, berjanji akan
mengirimkan satu tiket ke Amerika bagi anaknya yang berhasil menjadi juara 1.
Film ini tergolong ringan, karena sasaran penontonnya memang
remaja sekolahan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan orang dewasa untuk
menontonnya. Saya awalnya menonton film ini karena rekomendasi seorang teman.
Sebagai mahasiswa yang sedang menjalani semester-semester kritis, kami perlu
satu hiburan yang membuat kami berjiwa muda kembali, salah satunya dengan
menonton film tentang anak muda belia yang unyu-unyu (ehm).
Saya bukanlah orang yang betul-betul mengerti tentang
perfilman dan tidak memiliki pemikiran kritis jika menonton film tertentu. Dari
penikmatan saya terhadap film ini, saya menilai film ini layak untuk ditonton. Ide
ceritanya sederhana, tapi digarap dengan apik. Pemainnya, meskipun anak
sekolahan, mampu bermain dengan natural, tidak dibuat-buat seperti pemain
remaja di beberapa sinetron buatan Indonesia. Ini penilaian saya secara
objektif dan saya yakin, banyak yang setuju, bahwa remaja pemain sinetron,
memiliki penampilan yang kurang memuaskan penonton. Ini hanya pada sinetron.
Saya tidak menyangkal, bahwa aktor muda Indonesia bermain peran lebih baik pada
film layar lebar.
Adegan ketika Nam menyatakan cintanya pada Shone. Saya menangis sambil tertawa. What an awkward...
Meski demikian, ending
cerita membuat pikiran saya sedikit terganggu. Diceritakan, akhirnya Nam
kembali ke Thailand setelah melanjutkan sekolah di Amerika. Di Amerika, ia
dikenal sebagai desainer terkenal. Seorang pembawa acara televisi menunjukkan
sebuah majalah yang merupakan bukti kesuksesan Nam sebagai desainer. Foto-foto
pada majalah itulah yang menurut saya tidak sinkron dengan profesi Nam.
Foto-foto itu tidak menampilkan desain-desain pakaian karya Nam, melainkan
potret Nam sendiri. Akan lebih masuk akal jika dikatakan bahwa Nam kemudian
menjadi seorang model.
Lagipula, sepanjang film menceritakan masa sekolah Nam, Nam
tidak pernah digambarkan memiliki kesenangan merancang model pakaian. Nam
justru digambarkan sebagai pelajar yang tidak terlalu pintar. Satu-satunya
kelebihan Nam adalah kemampuannya berbahasa Inggris yang lebih baik daripada
teman-temannya karena ia sering membantu ibunya yang membuka penginapan untuk
tamu asing.
Secara keseluruhan, film ini menarik untuk ditonton,
terutama oleh kaum remaja. Pada usia belasan, remaja mengalami fase pencarian
jati diri. Seringkali, mereka terjebak dalam situasi tidak menguntungkan karena
keputusan keliru yang mereka buat akibat emosi yang labil dan cenderung
meledak-ledak. Film ini mengajarkan remaja untuk mencintai dengan cara yang
benar dan mengajarkan bagaimana menjadikan cinta sebagai salah satu cara
mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Film ini memiliki kesan tersendiri bagi saya, mengingatkan saya pada satu kenangan yang manis-manis asam ketika pertama kali jatuh cinta di masa SMA (ehm). Saya juga hitam, jelek, tidak memiliki daya tarik sama sekali. Bedanya dengan Nam, saya tidak mau repot-repot mengubah penampilan menjadi feminim, dengan alasan ingin tetap menjadi diri sendiri. Alhasil, apapun yang saya lakukan untuk mendapatkan perhatian si Kakak Ketua Osis ini, tidak membuahkah hasil yang menyenangkan. Haha.... Jadi, tolong jangan ditiru, ya.


0 comments:
Post a Comment