Pages

Thursday, 20 February 2014

Resensi Film-Ketika Cinta Pertama Bertahan hingga Ujung Waktu

     Selama beberapa minggu ini saya disibukkan oleh harddisk yang sepertinya sudah mau muntah dipenuhi oleh file-file yang sebenarnya tidak terlalu penting. Saya sebenarnya bukan seseorang yang ketagihan film. Menonton film hanyalah salah satu cara supaya saya bisa makan dengan nikmat. Oke, kedengarannya “tidak nyambung”. Tapi, saya tergolong orang yang pada waktu-waktu tertentu sulit makan. Jadi, menonton film berfungsi ganda pada masa-masa seperti ini, yaitu untuk menambah selera makan dan mengalihkan pikiran dari makanan yang tidak ingin saya makan.
     Nah, seorang kawan suatu hari datang membawa harddisk external yang penuh dengan film, mulai dari film barat, Indonesia, bollywood, Korea, Thailand, documenter, sampai film-film kartun. Meski bukan penggila film, saya tetap beraksi gila-gilaan dengan menggandakan film-film tersebut ke dalam laptop saya yang kapasitasnya hanya 500 GB. Dengan banyaknya file film yang ganda karena penamaan folder yang sedikit berbeda, saya harus merapikan folder-folder itu supaya ada space yang tersisa. Sambil merapikan file, saya pikir, akan lebih bermanfaat bila saya berbagi pengalaman menonton film-film tersebut.
     Ini adalah review film saya yang pertama. Saya memutustkan untuk sesekali juga menulis tentang buku bacaan maupun film yang menurut saya layak dibaca dan ditonton pelajar. Nah, berikut satu film yang saya rekomendasikan untuk ditonton pelajar.



Judul Film           : A Crazy Little Thing Called Love (First Love)
Pemain                : Pimchanok Lerwisetpibol, Mario Maurer, Acharanat Ariyaritwikol
Sutradara            : Sudarat Budtporm

     A Crazy Little Thing Called Love adalah sebuah film drama remaja dari Thailand. Bercerita tentang seorang gadis SMP bernama Nam (Pimchanok Lerwisetpibol) yang sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Shone (Mario Maurer), kakak kelasnya. Sebagai remaja yang berkulit hitam, jelek, dan sangat tidak populer, Nam pesimis cintanya akan diterima. Meski demikian, ia tidak berhenti berusaha untuk membuat Shone meliriknya.
     Berbagai upaya dicobanya, dibantu ketiga sahabat yang setia padanya, Cheer, Gim, dan Nim, mulai dari mengubah penampilan, ikut klub drama yang sangat tidak diminati, hingga menjadi mayoret marching band. Hanya saja, ia punya pesaing berat, Faye, teman seangkatannya yang cantik dan putih. Gara-gara Faye, Nam yang semula hendak masuk klub menari bersama teman-temannya, diusir dari antrean dan dilarang bergabung. Guru In lantas membujuknya masuk klub drama.
     Awalnya, Nam dan kawan-kawan tidak berminat, karena klub drama diikuti oleh murid-murid yang jelek dan tidak populer. Jelas ini tidak akan menguntungkan Nam dalam usahanya merebut perhatian Shone. Tapi, demi mengetahui bahwa Shone terlibat sebagai salah satu penata panggung untuk pementasan drama klub itu pada festival sekolah, Nam berubah pikiran dan berusaha keras memainkan perannya.
     Sebagai pemeran utama, Nam diharuskan tampil cantik. Pin, teman sekelas Shone lantas diminta untuk membantu memperbaiki penampilan Nam. Pin yang pandai berdandan berhasil mengubah Nam terlihat lebih cantik. Namun, itu tak jua membuat Shone melancarkan aksi pendekatan pada Nam.
Konflik mulai muncul ketika teman masa kecil Shone, Top, datang dan bersekolah di sekolah yang sama dengan Nam dan Shone. Kehadiran Top membuat banyak gadis tergila-gila padanya. Mereka yang awalnya kesengsem pada Shone, mulai berpaling pada Top. Apalagi, Top tergolong genit pada gadis-gadis dibandingkan Shone.
     Top yang menonton pementasan drama Nam, jatuh hati padanya. Dalam waktu singkat, ia meminta Nam menjadi pacarnya. Nam yang menemukan catatan Top pada tasnya, mengira Shone yang memintanya bertemu sepulang sekolah. Top meminta Nam menjadi pacarnya. Nam panik menghadapi keadaan itu dan tidak memberi jawaban, meski Top telah berkata, bahwa jika Nam tidak menjawab, itu artinya ia bersedia.
     Selama beberapa bulan, Nam menjadi pacar Top, meski ia sendiri tidak menganggap dirinya jadian dengan Top. Kedekatannya dengan Top membuatnya jadi lebih sering bertemu dengan Shone sehingga mereka menjadi lebih akrab.
     Sayangnya, kedekatan mereka harus dibayar mahal. Nam yang lebih memilih piknik bersama Shone dan kawan-kawannya, meninggalkan Cheer di hari ulang tahun Cheer, padahal Cheer memesan kue kesukaan Nam sebagai kue ulang tahunnya. Cheer marah dan menolak berteman dengannya lagi. Pada masa-masa itu, Nam juga marah pada Top karena mencium pipinya tanpa ijin.
     Nam mulai kehilangan teman. Cheer tidak mau lagi bicara dengannya. Gim dan Nim setia di sisi Cheer. Top yang sakit hati meminta Shone untuk berjanji, apapun yang terjadi, ia tidak boleh pacaran dengan Nam. Shone setuju dengan permintaan sahabatnya itu. Pada masa-masa sulit itu, Nam yang tertekan belajar mati-matian untuk meningkatkan nilainya di sekolah. Ayahnya yang sudah 5 tahun tidak pulang karena bekerja di Amerika, berjanji akan mengirimkan satu tiket ke Amerika bagi anaknya yang berhasil menjadi juara 1.
     Film ini tergolong ringan, karena sasaran penontonnya memang remaja sekolahan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan orang dewasa untuk menontonnya. Saya awalnya menonton film ini karena rekomendasi seorang teman. Sebagai mahasiswa yang sedang menjalani semester-semester kritis, kami perlu satu hiburan yang membuat kami berjiwa muda kembali, salah satunya dengan menonton film tentang anak muda belia yang unyu-unyu (ehm).
     Saya bukanlah orang yang betul-betul mengerti tentang perfilman dan tidak memiliki pemikiran kritis jika menonton film tertentu. Dari penikmatan saya terhadap film ini, saya menilai film ini layak untuk ditonton. Ide ceritanya sederhana, tapi digarap dengan apik. Pemainnya, meskipun anak sekolahan, mampu bermain dengan natural, tidak dibuat-buat seperti pemain remaja di beberapa sinetron buatan Indonesia. Ini penilaian saya secara objektif dan saya yakin, banyak yang setuju, bahwa remaja pemain sinetron, memiliki penampilan yang kurang memuaskan penonton. Ini hanya pada sinetron. Saya tidak menyangkal, bahwa aktor muda Indonesia bermain peran lebih baik pada film layar lebar.
 Adegan ketika Nam menyatakan cintanya pada Shone. Saya menangis sambil tertawa. What an awkward...
     Meski demikian, ending cerita membuat pikiran saya sedikit terganggu. Diceritakan, akhirnya Nam kembali ke Thailand setelah melanjutkan sekolah di Amerika. Di Amerika, ia dikenal sebagai desainer terkenal. Seorang pembawa acara televisi menunjukkan sebuah majalah yang merupakan bukti kesuksesan Nam sebagai desainer. Foto-foto pada majalah itulah yang menurut saya tidak sinkron dengan profesi Nam. Foto-foto itu tidak menampilkan desain-desain pakaian karya Nam, melainkan potret Nam sendiri. Akan lebih masuk akal jika dikatakan bahwa Nam kemudian menjadi seorang model.
     Lagipula, sepanjang film menceritakan masa sekolah Nam, Nam tidak pernah digambarkan memiliki kesenangan merancang model pakaian. Nam justru digambarkan sebagai pelajar yang tidak terlalu pintar. Satu-satunya kelebihan Nam adalah kemampuannya berbahasa Inggris yang lebih baik daripada teman-temannya karena ia sering membantu ibunya yang membuka penginapan untuk tamu asing.
     Secara keseluruhan, film ini menarik untuk ditonton, terutama oleh kaum remaja. Pada usia belasan, remaja mengalami fase pencarian jati diri. Seringkali, mereka terjebak dalam situasi tidak menguntungkan karena keputusan keliru yang mereka buat akibat emosi yang labil dan cenderung meledak-ledak. Film ini mengajarkan remaja untuk mencintai dengan cara yang benar dan mengajarkan bagaimana menjadikan cinta sebagai salah satu cara mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.
     Film ini memiliki kesan tersendiri bagi saya, mengingatkan saya pada satu kenangan yang manis-manis asam ketika pertama kali jatuh cinta di masa SMA (ehm). Saya juga hitam, jelek, tidak memiliki daya tarik sama sekali. Bedanya dengan Nam, saya tidak mau repot-repot mengubah penampilan menjadi feminim, dengan alasan ingin tetap menjadi diri sendiri. Alhasil, apapun yang saya lakukan untuk mendapatkan perhatian si Kakak Ketua Osis ini, tidak membuahkah hasil yang menyenangkan. Haha.... Jadi, tolong jangan ditiru, ya.

0 comments:

Post a Comment