Ah, ya. Saya lupa bercerita, bahwa saya mengajar di Pantar
Timur, Alor, sebagai guru bantu. Sejak mengajar bulan September tahun lalu,
saya mendapat kesan yang kurang positif dari masyarakat.
Ketika saya baru tiba, tidak ada sambutan dari masyarakat.
Desa bahkan terlihat sepi-sepi saja, adem-ayem, ketika saya datang. Saya
sejatinya berusaha untuk tidak menetapkan standar, sambutan macam apa yang saya
harapkan dari penduduk desa, karena saya memang bukan pahlawan perang yang baru
kembali dari medan tempur membawa kemenangan. Tapi, sulit sekali untuk tidak
iri mendengar teman-teman saya bercerita, betapa hebohnya sambutan yang ia
dapatkan ketika tiba di desa tempat tugas masing-masing. Ada yang disambut
dengan Tari Lego-Lego khas Alor; ada yang langsung diajak berkeliling desa
untuk berkenalan dengan seluruh penduduk; ada pula yang bahkan langsung diminta
untuk memberikan presentasi program kerja di gereja atau balai desa dengan
seluruh penduduk hadir di sana.
Bagaimana dengan saya? Ketika baru datang, saya langsung ke
rumah satu warga yang akan saya tumpangi selama menjalankan tugas dinas,
berkenalan dengan pemilik rumah yang akan menjadi orang tua asuh saya, setelah
itu… tidur siang. Serius.
Saya sempat bingung ketika Bapa Obet, bapa angkat saya,
pamit ke desa di kaki gunung, Desa Nule, untuk melanjutkan proses pembangunan
rumah baru di sana, Mama Tina masuk ke kamar, begitu pula dengan Ibu Jaco,
Kepala Sekolah SMP Satap Tonte yang menjadi atas saya.
“Ibu, sekarang kita, ngapain?”
tanya saya.
“Kita istirahat sudah,” jawab Ibu Jaco sambil menunjuk kamar
yang bisa saya tempati.
Saya bengong. Serius, nih? Tidak berkenalan dengan Ketua
Suku atau Ketua Adat? Tidak lapor diri ke Kepala Desa? Tidak berkenalan dengan
para Tetua Desa? Hanya begini saja?
***
Nah, sudah hampir 6 bulan saya bertugas di sini, saya tidak
pernah bisa betul-betul tenang dalam menjalankan tugas. Bulan Oktober, Ibu Rodi
berencana memperbaiki satu asrama guru di sebelah sekolah agar bisa saya
tempati bersama Ibu Jaco, karena seperti halnya saya, Ibu Jaco bukan warga asli
Desa Tonte, melainkan warga Desa Adiabang, desa di daerah pesisir, di bawah
Tonte.
Proses perbaikan asrama guru baru sebatas menyemen lantai,
ketika suatu pagi sebuah papan terpasang di tiga titik di wilayah asrama guru.
Ketiga-tiganya bernada sama: tanah itu milik seseorang bernama Johanis Weni;
asrama harus dibongkar sebelum si Johanis Weni ini datang. Saya yang tidak
merasa melakukan apa-apa, diam-diam saja. Kalau Ibu Rodi memaksa saya untuk
tinggal di asrama itu, barulah saya mulai cemas. Saya sendiri tidak berminat
tinggal di asrama karena takut berada di rumah itu sendirian pada malam hari,
terutama bila Ibu Jaco ada panggilan ke kota selama beberapa hari.
Sejak hari itu, para guru tidak hanya pusing memikirkan
murid-murid SMP yang beberapa belum bisa membaca, murid kelas 6 SD yang akan
menghadapi Ujian Nasional dengan kondisi kekurangan buku dan tidak punya
strategi khusus agar lolos UN, absensi murid-murid lain yang sering mencapai
sebulan lamanya, dan fasilitas sekolah yang tak kunjung bertambah dari tahun ke
tahun. Kami mulai direpotkan oleh beberapa oknum yang melakukan pengerusakan di
sekolah, hingga puncaknya merusak salah satu pintu rumah Ibu Rodi dengan parang
dalam keadaan mabuk.
Bulan Nopember tahun lalu, saya menganggur di kota selama
sebulan penuh demi menunggu informasi bahwa situasi desa telah aman dan kami
bisa melanjutkan tugas sebagaimana mestinya. Pada awal Desember, saya kembali,
tapi tidak sampai seminggu, ada orang lain lagi yang membuat kerusuhan. Bapa
Obet khawatir dengan keselamatan saya. Sejak saya kembali, saya baru tahu bahwa
guru-guru lain tidak ada yang berani mengajar. Sebagai satu-satunya guru SMP di
sekolah, saya berusaha memastikan proses belajar-mengajar tetap berlangsung.
Seminggu kami ngebut belajar,
mencoba membahas sisa materi yang belum dipelajari. Minggu berikutnya, kami
memasuki masa Ulangan Semester. Ulangan saya adakan di ruang tamu rumah.
Untungnya murid saya hanya sekitar 10 orang, sehingga ruangan kecil itu cukup
untuk menampung mereka semua. Dua kali sehari, pagi-sore, murid saya datang
untuk mengerjakan dua ulangan sekaligus. Dalam waktu 3 hari, kami telah
menuntaskan Ulangan Semester Pertama.
Tapi, saya hampir-hampir menangis melihat hasil ulangan
mereka. Serius. Hanya satu orang yang berhasil meraih skor 6 pada satu mata
pelajaran, sisanya hanya berkisar 1-4 di semua mata pelajaran.
Yang paling membuat saya miris adalah satu orang murid saya
yang menjawab soal ulangan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan jawaban-jawaban ngaco seperti berikut:
1. Cobalah sebutkan sampah di
sekitar kalian! Termasuk jenis sampah apakah itu?
Saya
setiap hari bantu saya pu mama pi pasar.
2.
Bagaimanakah
caramu mengelola sampah-sampah tersebut?
Saya setiap hari bantu saya pu mama sapu
ruma. (perhatikan,
kata “rumah” ditulis tanpa huruf “h”)
3.
Apa
dampak negatif yang akan timbul bila sampah-sampah di tempat tinggalmu tidak
dikelola dengan baik?
Saya setiap hari buat kerja ruma.
Begitu seterusnya sampai
pertanyaan nomor 10:
10. Apa yang dapat kita lakukan bila
air tercemar?
Saya setiap hari memasak di dapur.
Jungkir-balik saya mengajar mereka, memastikan setiap detil
kecil telah masuk ke otak mereka. Saya gagal. Meski demikian, saya tidak punya
waktu lagi untuk memperbaiki chaos
tersebut. Tanpa ada Kepala Sekolah di desa, saya tidak merasa aman.
Keberadaannya sendiri sejujurnya tidak membantu meringankan beban mental yang
saya rasakan. Karenanya, saya cepat-cepat mengungsi ke kota, mengamankan diri.
Saya pikir, berlibur seminggu di kota, jauh dari ketegangan
di sekolah, akan membuat pikiran saya segar kembali. Saya siap kembali tanggal
4 Januari, dua hari sebelum semester genap dimulai, ketika Kepala Sekolah
menelepon saya. Kepala Sekolah dan Ibu Rodi ngotot ingin minta file foto
sekolah untuk dibawa ke pengadilan.
Saya berusaha menjelaskan, foto yang saya ambil tidak
memberikan gambaran yang cukup tentang keadaan sekolah dan akan sia-sia jika
kami menunjukkan foto-foto tersebut pada polisi. Pintu-pintu sekolah sebenarnya
hanya dijejali dengan batang tanaman yang dipotong sembarang. Pintu rumah Ibu
Rodi hanya berlubang sedikit akibat ditusuk parang dan pagar tanaman yang ia
buat reyot setelah diamuk oknum yang menuntut pengembalian tanah sekolah itu.
Betapapun menakutkannya kejadian ketika orang itu mengamuk, bukti fisik berupa
foto yang saya ambil tidak bisa menjadi bukti yang kuat.
Karena mereka membandel dan menolak mempertimbangkan
penjelasan saya, saya memberikan flashdisk
berisi file foto-foto tersebut tanpa berharap banyak hal itu akan membantu
menyelesaikan masalah ini. Kepala Sekolah juga mengatakan, bahwa guru-guru yang
sudah terlanjur ke kota disarankan untuk tidak kembali ke sekolah sampai
situasi aman, selain untuk memudahkan komunikasi karena di desa Tonte jaringan
telepon seluler masih belum kuat.
Sebulan lebih, nyaris dua bulan malah, saya diam di kota.
Saya tidak lagi tinggal di rumah Kepala Sekolah di Kadelang karena merasa tidak
nyaman. Selama hampir dua bulan itu saya tinggal di Lanbo, di rumah salah satu
kepala sekolah yang menampung teman saya. Orang tua asuh teman saya ini sangat
baik dan langsung menganggap saya anak mereka, terutama Bapak Kepala Sekolah.
Setelah berminggu-minggu hidup tanpa kepastian, suatu hari saya terbangun
dengan sebuah keputusan di kepala: saya harus pindah.
Saya segera mengontak salah satu teman dan menanyakan
“lowongan kerja” di tempat tugasnya. Dia bergerak cepat. Dengan segera, teman
saya ini telah menghubungi kepala sekolah tempat ia bertugas dan mengatur agar
saya bisa bertemu dengan atasannya. Dalam waktu seminggu, saya mendapat
kepastian dan Surat Keputusan baru: saya akan pindah tugas ke Kolotuku, Desa
Kiraman, Kec. Alsel (Alor Selatan).
0 comments:
Post a Comment