Pages

Friday, 21 February 2014

The Chaos

     Ah, ya. Saya lupa bercerita, bahwa saya mengajar di Pantar Timur, Alor, sebagai guru bantu. Sejak mengajar bulan September tahun lalu, saya mendapat kesan yang kurang positif dari masyarakat.
     Ketika saya baru tiba, tidak ada sambutan dari masyarakat. Desa bahkan terlihat sepi-sepi saja, adem-ayem, ketika saya datang. Saya sejatinya berusaha untuk tidak menetapkan standar, sambutan macam apa yang saya harapkan dari penduduk desa, karena saya memang bukan pahlawan perang yang baru kembali dari medan tempur membawa kemenangan. Tapi, sulit sekali untuk tidak iri mendengar teman-teman saya bercerita, betapa hebohnya sambutan yang ia dapatkan ketika tiba di desa tempat tugas masing-masing. Ada yang disambut dengan Tari Lego-Lego khas Alor; ada yang langsung diajak berkeliling desa untuk berkenalan dengan seluruh penduduk; ada pula yang bahkan langsung diminta untuk memberikan presentasi program kerja di gereja atau balai desa dengan seluruh penduduk hadir di sana.
     Bagaimana dengan saya? Ketika baru datang, saya langsung ke rumah satu warga yang akan saya tumpangi selama menjalankan tugas dinas, berkenalan dengan pemilik rumah yang akan menjadi orang tua asuh saya, setelah itu… tidur siang. Serius.
     Saya sempat bingung ketika Bapa Obet, bapa angkat saya, pamit ke desa di kaki gunung, Desa Nule, untuk melanjutkan proses pembangunan rumah baru di sana, Mama Tina masuk ke kamar, begitu pula dengan Ibu Jaco, Kepala Sekolah SMP Satap Tonte yang menjadi atas saya.
     “Ibu, sekarang kita, ngapain?” tanya saya.
     “Kita istirahat sudah,” jawab Ibu Jaco sambil menunjuk kamar yang bisa saya tempati.
     Saya bengong. Serius, nih? Tidak berkenalan dengan Ketua Suku atau Ketua Adat? Tidak lapor diri ke Kepala Desa? Tidak berkenalan dengan para Tetua Desa? Hanya begini saja?
***
     Nah, sudah hampir 6 bulan saya bertugas di sini, saya tidak pernah bisa betul-betul tenang dalam menjalankan tugas. Bulan Oktober, Ibu Rodi berencana memperbaiki satu asrama guru di sebelah sekolah agar bisa saya tempati bersama Ibu Jaco, karena seperti halnya saya, Ibu Jaco bukan warga asli Desa Tonte, melainkan warga Desa Adiabang, desa di daerah pesisir, di bawah Tonte.
     Proses perbaikan asrama guru baru sebatas menyemen lantai, ketika suatu pagi sebuah papan terpasang di tiga titik di wilayah asrama guru. Ketiga-tiganya bernada sama: tanah itu milik seseorang bernama Johanis Weni; asrama harus dibongkar sebelum si Johanis Weni ini datang. Saya yang tidak merasa melakukan apa-apa, diam-diam saja. Kalau Ibu Rodi memaksa saya untuk tinggal di asrama itu, barulah saya mulai cemas. Saya sendiri tidak berminat tinggal di asrama karena takut berada di rumah itu sendirian pada malam hari, terutama bila Ibu Jaco ada panggilan ke kota selama beberapa hari.
     Sejak hari itu, para guru tidak hanya pusing memikirkan murid-murid SMP yang beberapa belum bisa membaca, murid kelas 6 SD yang akan menghadapi Ujian Nasional dengan kondisi kekurangan buku dan tidak punya strategi khusus agar lolos UN, absensi murid-murid lain yang sering mencapai sebulan lamanya, dan fasilitas sekolah yang tak kunjung bertambah dari tahun ke tahun. Kami mulai direpotkan oleh beberapa oknum yang melakukan pengerusakan di sekolah, hingga puncaknya merusak salah satu pintu rumah Ibu Rodi dengan parang dalam keadaan mabuk.
     Bulan Nopember tahun lalu, saya menganggur di kota selama sebulan penuh demi menunggu informasi bahwa situasi desa telah aman dan kami bisa melanjutkan tugas sebagaimana mestinya. Pada awal Desember, saya kembali, tapi tidak sampai seminggu, ada orang lain lagi yang membuat kerusuhan. Bapa Obet khawatir dengan keselamatan saya. Sejak saya kembali, saya baru tahu bahwa guru-guru lain tidak ada yang berani mengajar. Sebagai satu-satunya guru SMP di sekolah, saya berusaha memastikan proses belajar-mengajar tetap berlangsung.
     Seminggu kami ngebut belajar, mencoba membahas sisa materi yang belum dipelajari. Minggu berikutnya, kami memasuki masa Ulangan Semester. Ulangan saya adakan di ruang tamu rumah. Untungnya murid saya hanya sekitar 10 orang, sehingga ruangan kecil itu cukup untuk menampung mereka semua. Dua kali sehari, pagi-sore, murid saya datang untuk mengerjakan dua ulangan sekaligus. Dalam waktu 3 hari, kami telah menuntaskan Ulangan Semester Pertama.
     Tapi, saya hampir-hampir menangis melihat hasil ulangan mereka. Serius. Hanya satu orang yang berhasil meraih skor 6 pada satu mata pelajaran, sisanya hanya berkisar 1-4 di semua mata pelajaran.
     Yang paling membuat saya miris adalah satu orang murid saya yang menjawab soal ulangan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan jawaban-jawaban ngaco seperti berikut:
1.      Cobalah sebutkan sampah di sekitar kalian! Termasuk jenis sampah apakah itu?
Saya setiap hari bantu saya pu mama pi pasar.
2.      Bagaimanakah caramu mengelola sampah-sampah tersebut?
Saya setiap hari bantu saya pu mama sapu ruma. (perhatikan, kata “rumah” ditulis tanpa huruf “h”)
3.      Apa dampak negatif yang akan timbul bila sampah-sampah di tempat tinggalmu tidak dikelola dengan baik?
Saya setiap hari buat kerja ruma.

Begitu seterusnya sampai pertanyaan nomor 10:
10.  Apa yang dapat kita lakukan bila air tercemar?
Saya setiap hari memasak di dapur.

     Jungkir-balik saya mengajar mereka, memastikan setiap detil kecil telah masuk ke otak mereka. Saya gagal. Meski demikian, saya tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki chaos tersebut. Tanpa ada Kepala Sekolah di desa, saya tidak merasa aman. Keberadaannya sendiri sejujurnya tidak membantu meringankan beban mental yang saya rasakan. Karenanya, saya cepat-cepat mengungsi ke kota, mengamankan diri.
     Saya pikir, berlibur seminggu di kota, jauh dari ketegangan di sekolah, akan membuat pikiran saya segar kembali. Saya siap kembali tanggal 4 Januari, dua hari sebelum semester genap dimulai, ketika Kepala Sekolah menelepon saya. Kepala Sekolah dan Ibu Rodi ngotot ingin minta file foto sekolah untuk dibawa ke pengadilan.
     Saya berusaha menjelaskan, foto yang saya ambil tidak memberikan gambaran yang cukup tentang keadaan sekolah dan akan sia-sia jika kami menunjukkan foto-foto tersebut pada polisi. Pintu-pintu sekolah sebenarnya hanya dijejali dengan batang tanaman yang dipotong sembarang. Pintu rumah Ibu Rodi hanya berlubang sedikit akibat ditusuk parang dan pagar tanaman yang ia buat reyot setelah diamuk oknum yang menuntut pengembalian tanah sekolah itu. Betapapun menakutkannya kejadian ketika orang itu mengamuk, bukti fisik berupa foto yang saya ambil tidak bisa menjadi bukti yang kuat.
     Karena mereka membandel dan menolak mempertimbangkan penjelasan saya, saya memberikan flashdisk berisi file foto-foto tersebut tanpa berharap banyak hal itu akan membantu menyelesaikan masalah ini. Kepala Sekolah juga mengatakan, bahwa guru-guru yang sudah terlanjur ke kota disarankan untuk tidak kembali ke sekolah sampai situasi aman, selain untuk memudahkan komunikasi karena di desa Tonte jaringan telepon seluler masih belum kuat.
     Sebulan lebih, nyaris dua bulan malah, saya diam di kota. Saya tidak lagi tinggal di rumah Kepala Sekolah di Kadelang karena merasa tidak nyaman. Selama hampir dua bulan itu saya tinggal di Lanbo, di rumah salah satu kepala sekolah yang menampung teman saya. Orang tua asuh teman saya ini sangat baik dan langsung menganggap saya anak mereka, terutama Bapak Kepala Sekolah. Setelah berminggu-minggu hidup tanpa kepastian, suatu hari saya terbangun dengan sebuah keputusan di kepala: saya harus pindah.
     Saya segera mengontak salah satu teman dan menanyakan “lowongan kerja” di tempat tugasnya. Dia bergerak cepat. Dengan segera, teman saya ini telah menghubungi kepala sekolah tempat ia bertugas dan mengatur agar saya bisa bertemu dengan atasannya. Dalam waktu seminggu, saya mendapat kepastian dan Surat Keputusan baru: saya akan pindah tugas ke Kolotuku, Desa Kiraman, Kec. Alsel (Alor Selatan).

0 comments:

Post a Comment