Pages

Monday, 10 February 2014

And The Journey Begins

     Untuk bisa menciptakan lampu, Thomas A. Edison mengalami kegagalan dalam percobaannya hingga lebih dari 1.000 kali. Tapi, baginya, itu bukanlah kegagalan. Ia hanya menemukan lebih dari 1.000 cara yang salah


     Seperti halnya Edison yang gagal lebih dari 1.000 kali dalam percobaannya, saya juga selalu mengalami kegagalan setiap kali mencoba meyakinkan Bapak dan Ibu atas pilihan saya. Atau, selama ini, saya menggunakan cara yang salah untuk meyakinkan mereka. Tapi, saya yakin, suatu hari nanti, saya akan menemukan satu cara yang benar.


     Saya orang yang mudah merasa kalah, tapi bukan berarti saya menyerah. Mata saya mulai terbuka atas segala kemungkinan yang bisa saya raih ketika memasuki masa-masa SMA. Saya mulai menemukan, bahwa saya memiliki minat yang besar pada seni dan kebahasaan. Pada masa ini, saya mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan saya pada kedua bidang ini.


     Saat saya kelas 10, guru Bahasa Indonesia di kelas saya memberi perhatian dan bimbingan yang saya butuhkan. Bu Dayu, demikian namanya, meminta saya untuk menyetorkan setiap tulisan yang saya hasilkan. Ia tak pernah memberikan target, berapa tulisan dalam kurun waktu tertentu, harus saya serahkan. Kadang, dua bulan penuh saya tidak mampu menghasilkan tulisan. Di lain waktu, saya sanggup menyetorkan satu cerpen setiap hari, selama beberapa hari berturut-turut. Biasanya, kalau saya tidak menyetor tulisan dalam waktu yang lama, itu karena saya mengerjakan tulisan yang lebih panjang, entah novelet atau novel.


     Sebenarnya, kebiasaan menulis ini sudah sering saya lakukan sejak SD. Saya sering menulis dongeng ketika SD dan menjualnya seharga 500 rupiah. Tidak banyak yang mau beli, karena mereka lebih senang meminjam saja. Saat SMP, teman-teman antre untuk membaca, bahkan kadang suka seenaknya “memesan” ending agar sesuai dengan keinginan mereka. Saya senang-senang saja, karena kadang mereka punya ide yang menarik.


     Karya-karya saya ketika SMA saya tulis murni untuk kepuasan batin, bukan untuk dijual, bukan hasil pesanan. Saya berusaha memeras otak lebih keras untuk menulis kisah yang unik. Saya membaca lebih banyak buku, lebih sering dan lebih intens mengamati orang agar memiliki lebih banyak bahan untuk dijadikan dasar cerita.


     Bu Dayu, menurut saya, adalah orang yang paling besar jasanya dalam perkembangan diri saya ini. Dialah orang pertama yang percaya, saya mampu meraih cita-cita saya sebagai jurnalis. Tidak hanya percaya, ia juga membukakan jalan. Bu Dayu, selain guru di kelas saya, juga guru pembina ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah. Ia mengajari saya membuat berita, feature, tajuk, opini, dan macam-macam tulisan lainnya hingga saya benar-benar bisa.


     Ia tidak seperti guru-guru saya sebelumnya yang tidak memiliki keyakinan penuh pada kemampuan saya. Ia memilih saya mengikuti pelatihan jurnalistik di kota. Sekian banyak murid yang ikut ekstrakurikuler jurnalistik, hanya saya yang dipilih.


     Pelatihan jurnalistik itu benar-benar sangat membantu saya. Setelah mengikuti pelatihan itu, tidak ada tulisan yang tidak bisa saya buat. Tulisan saya makin tajam dan kritis (ini menurut guru-guru saya). Bahkan, saat ada seminar tentang kesehatan reproduksi di sekolah, sayalah yang diminta Bu Dayu untuk mewawancarai bintang tamu seminar, Nanoe Biroe, artis Bali yang namanya sedang melejit pada jaman itu. Kepala Sekolah menepuk pundak saya dengan bangga ketika mengenalkan saya pada Nanoe Biroe di kantornya dan menyebut saya sebagai “wartawan sekolah”. Dada saya menggelembung senang ketika itu.


     Kebanggaan mereka pada saya tidak berlangsung lama. Banyak orang berbisik-bisik sinis gara-gara saya menulis sebuah laporan panjang tentang seorang teman, sebut saja Yudi, yang tertangkap basah membawa majalah porno ke sekolah dan memaksa anak-anak kelas 10 untuk melihatnya. Saat itu saya dan teman saya sudah kelas 11. Guru-guru cemas kalau tamu yang datang ke sekolah membaca laporan itu; Yudi mengancam akan memukul saya kalau dia sampai menyebut namanya pada berita di mading, seakan-akan saya tidak tahu kode etik; Bu Dayu khawatir berita yang saya tulis akan menyulitkan saya dan membahayakan pekerjaannya. Saya tidak mengerti, kenapa kebenaran harus dibungkam?


     Meski demikian, kejadian itu tidak membuat saya kapok, tapi juga tidak membuat saya menjadi pemberontak yang kalap. Saya berusaha lebih hati-hati. Saya berusaha lebih adil dalam memandang suatu persoalan dan menulis laporan dengan lebih berimbang, meski saya yakin telah melakukan semua itu sebelumnya. Saya berusaha tidak terlihat menonjolkan diri. Teman-teman mengira saya menjadi lebih serius dan angkuh, Yudi menilai itu adalah sikap orang yang bersalah dan menyesal. Padahal, saya tidak merasa bersalah dan menyesal telah memberitahukan kebenaran. Saya hanya tidak ingin membuat Bu Dayu kehilangan pekerjaannya.


     Saya tidak pernah menghitung seberapa besar peluang yang saya punya untuk menjadi jurnalis. Yang saya tahu, saya ingin tahu sebanyak mungkin tentang dunia yang saya senangi ini. Setiap saya temukan buku atau artikel tentang jurnalisme, pasti akan saya baca hingga habis, bila perlu saya baca berulang-ulang. Setiap ada tayangan berita, saya menyimak dengan serius, memperhatikan setiap aspek dari berita itu: kelengkapan informasinya, kedalaman isinya, cara dan penyampaian sang reporter.


     Saya kemudian menyadari bahwa profesi jurnalis itu tidak hanya keren dari segi penampilannya semata. Semakin banyak yang saya baca, semakin saya mengerti, jurnalis mengemban misi kemanusiaan. Suatu hari, pada modul kuliah Pengantar Jurnalistik, saya membaca pernyataan Jacob Sumardjo, salah satu pendiri Kompas, bahwa fungsi pers adalah “mengangkat yang di bawah dan menggoyang-goyangkan yang di atas”. Pers mengemban misi mengangkat harkat dan derajat rakyat jelata dan menggoyang para penguasa yang sewenang-wenang dengan kedudukannya. Sederhananya begitu.


     Apalagi, kalau teringat pada dialog antara saya dan Bapak pada saat Lebaran. Kami kadang tidak memiliki kesempatan untuk mudik dan terpaksa berlebaran di tanah rantau. Karena tidak punya sanak-saudara, kami merayakan Idul Fitri dengan sederhana, hanya sungkeman dan makan-makan setelah shalat Ied. Sambil makan, kami biasa menonton televisi, meski siarannya rata-rata tentang shalat Ied di berbagai daerah. Saat itu, saya baru benar-benar menyadari, ada beberapa orang yang tidak benar-benar bisa mengikuti prosesi Hari Raya seperti yang lainnya, salah satunya adalah para jurnalis.


     Kadang, saya mendapati pada layar televisi, para jurnalis sedang menyetel kamera video pada tripod di dalam masjid, juga para reporter yang sedang membawakan laporan.


     “Wah, kasian, ya. Orang-orang lagi shalat, kameramennya nggak bisa ikut shalat.” Saya menyeletuk.


     “Itu, deh, ibadahnya mereka,” sahut Bapak tanpa berpaling dari layar televisi.


     Mendengar jawaban Bapak, saya punya sedikit pemahaman, kenapa Bapak tidak menyetujui pilihan saya menjadi wartawan. Ada masa-masa kebersamaan dalam keluarga yang akan terenggut bila saya tetap pada pilihan itu. Meski demikian, itu tidak menyurutkan langkah saya. Menulis membuat saya merasakan gairah hidup.


     Demikianlah, saya memulai langkah untuk mencapai cita-cita saya, menjadi jurnalis. Tidak mudah, memang. Kadang, saya merasa rintangan yang saya hadapi terlalu banyak. Tetap saja, saya terus melangkah. Tertatih, kadang tersesat, salah arah, tapi terus berjalan.

0 comments:

Post a Comment