Untuk bisa menciptakan lampu, Thomas A. Edison mengalami
kegagalan dalam percobaannya hingga lebih dari 1.000 kali. Tapi, baginya, itu
bukanlah kegagalan. Ia hanya menemukan lebih dari 1.000 cara yang salah
Seperti halnya Edison yang gagal lebih dari 1.000 kali dalam
percobaannya, saya juga selalu mengalami kegagalan setiap kali mencoba
meyakinkan Bapak dan Ibu atas pilihan saya. Atau, selama ini, saya menggunakan
cara yang salah untuk meyakinkan mereka. Tapi, saya yakin, suatu hari nanti,
saya akan menemukan satu cara yang benar.
Saya orang yang mudah merasa kalah, tapi bukan berarti saya
menyerah. Mata saya mulai terbuka atas segala kemungkinan yang bisa saya raih
ketika memasuki masa-masa SMA. Saya mulai menemukan, bahwa saya memiliki minat
yang besar pada seni dan kebahasaan. Pada masa ini, saya mendapat kesempatan
untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan saya pada kedua bidang ini.
Saat saya kelas 10, guru Bahasa Indonesia di kelas saya
memberi perhatian dan bimbingan yang saya butuhkan. Bu Dayu, demikian namanya,
meminta saya untuk menyetorkan setiap tulisan yang saya hasilkan. Ia tak pernah
memberikan target, berapa tulisan dalam kurun waktu tertentu, harus saya
serahkan. Kadang, dua bulan penuh saya tidak mampu menghasilkan tulisan. Di
lain waktu, saya sanggup menyetorkan satu cerpen setiap hari, selama beberapa
hari berturut-turut. Biasanya, kalau saya tidak menyetor tulisan dalam waktu
yang lama, itu karena saya mengerjakan tulisan yang lebih panjang, entah
novelet atau novel.
Sebenarnya, kebiasaan menulis ini sudah sering saya lakukan
sejak SD. Saya sering menulis dongeng ketika SD dan menjualnya seharga 500
rupiah. Tidak banyak yang mau beli, karena mereka lebih senang meminjam saja.
Saat SMP, teman-teman antre untuk membaca, bahkan kadang suka seenaknya
“memesan” ending agar sesuai dengan
keinginan mereka. Saya senang-senang saja, karena kadang mereka punya ide yang
menarik.
Karya-karya saya ketika SMA saya tulis murni untuk kepuasan
batin, bukan untuk dijual, bukan hasil pesanan. Saya berusaha memeras otak
lebih keras untuk menulis kisah yang unik. Saya membaca lebih banyak buku,
lebih sering dan lebih intens mengamati orang agar memiliki lebih banyak bahan
untuk dijadikan dasar cerita.
Bu Dayu, menurut saya, adalah orang yang paling besar
jasanya dalam perkembangan diri saya ini. Dialah orang pertama yang percaya,
saya mampu meraih cita-cita saya sebagai jurnalis. Tidak hanya percaya, ia juga
membukakan jalan. Bu Dayu, selain guru di kelas saya, juga guru pembina
ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah. Ia mengajari saya membuat berita, feature, tajuk, opini, dan macam-macam
tulisan lainnya hingga saya benar-benar bisa.
Ia tidak seperti guru-guru saya sebelumnya yang tidak
memiliki keyakinan penuh pada kemampuan saya. Ia memilih saya mengikuti
pelatihan jurnalistik di kota. Sekian banyak murid yang ikut ekstrakurikuler
jurnalistik, hanya saya yang dipilih.
Pelatihan jurnalistik itu benar-benar sangat membantu saya.
Setelah mengikuti pelatihan itu, tidak ada tulisan yang tidak bisa saya buat.
Tulisan saya makin tajam dan kritis (ini menurut guru-guru saya). Bahkan, saat
ada seminar tentang kesehatan reproduksi di sekolah, sayalah yang diminta Bu
Dayu untuk mewawancarai bintang tamu seminar, Nanoe Biroe, artis Bali yang namanya sedang melejit
pada jaman itu. Kepala Sekolah menepuk pundak saya dengan bangga ketika
mengenalkan saya pada Nanoe Biroe di kantornya dan menyebut saya sebagai
“wartawan sekolah”. Dada saya menggelembung senang ketika itu.
Kebanggaan mereka pada saya tidak berlangsung lama. Banyak
orang berbisik-bisik sinis gara-gara saya menulis sebuah laporan panjang
tentang seorang teman, sebut saja Yudi, yang tertangkap basah membawa majalah
porno ke sekolah dan memaksa anak-anak kelas 10 untuk melihatnya. Saat itu saya
dan teman saya sudah kelas 11. Guru-guru cemas kalau tamu yang datang ke sekolah
membaca laporan itu; Yudi mengancam akan memukul saya kalau dia sampai menyebut
namanya pada berita di mading, seakan-akan saya tidak tahu kode etik; Bu Dayu
khawatir berita yang saya tulis akan menyulitkan saya dan membahayakan
pekerjaannya. Saya tidak mengerti, kenapa kebenaran harus dibungkam?
Meski demikian, kejadian itu tidak membuat saya kapok, tapi
juga tidak membuat saya menjadi pemberontak yang kalap. Saya berusaha lebih
hati-hati. Saya berusaha lebih adil dalam memandang suatu persoalan dan menulis
laporan dengan lebih berimbang, meski saya yakin telah melakukan semua itu
sebelumnya. Saya berusaha tidak terlihat menonjolkan diri. Teman-teman mengira
saya menjadi lebih serius dan angkuh, Yudi menilai itu adalah sikap orang yang
bersalah dan menyesal. Padahal, saya tidak merasa bersalah dan menyesal telah
memberitahukan kebenaran. Saya hanya tidak ingin membuat Bu Dayu kehilangan
pekerjaannya.
Saya tidak pernah menghitung seberapa besar peluang yang
saya punya untuk menjadi jurnalis. Yang saya tahu, saya ingin tahu sebanyak
mungkin tentang dunia yang saya senangi ini. Setiap saya temukan buku atau
artikel tentang jurnalisme, pasti akan saya baca hingga habis, bila perlu saya
baca berulang-ulang. Setiap ada tayangan berita, saya menyimak dengan serius,
memperhatikan setiap aspek dari berita itu: kelengkapan informasinya, kedalaman
isinya, cara dan penyampaian sang reporter.
Saya kemudian menyadari bahwa profesi jurnalis itu tidak
hanya keren dari segi penampilannya semata. Semakin banyak yang saya baca,
semakin saya mengerti, jurnalis mengemban misi kemanusiaan. Suatu hari, pada
modul kuliah Pengantar Jurnalistik, saya membaca pernyataan Jacob Sumardjo,
salah satu pendiri Kompas, bahwa fungsi pers adalah “mengangkat yang di bawah
dan menggoyang-goyangkan yang di atas”. Pers mengemban misi mengangkat harkat
dan derajat rakyat jelata dan menggoyang para penguasa yang sewenang-wenang
dengan kedudukannya. Sederhananya begitu.
Apalagi, kalau teringat pada dialog antara saya dan Bapak
pada saat Lebaran. Kami kadang tidak memiliki kesempatan untuk mudik dan
terpaksa berlebaran di tanah rantau. Karena tidak punya sanak-saudara, kami
merayakan Idul Fitri dengan sederhana, hanya sungkeman dan makan-makan setelah
shalat Ied. Sambil makan, kami biasa menonton televisi, meski siarannya
rata-rata tentang shalat Ied di berbagai daerah. Saat itu, saya baru
benar-benar menyadari, ada beberapa orang yang tidak benar-benar bisa mengikuti
prosesi Hari Raya seperti yang lainnya, salah satunya adalah para jurnalis.
Kadang, saya mendapati pada layar televisi, para jurnalis
sedang menyetel kamera video pada tripod di dalam masjid, juga para reporter yang
sedang membawakan laporan.
“Wah, kasian, ya. Orang-orang lagi shalat, kameramennya
nggak bisa ikut shalat.” Saya menyeletuk.
“Itu, deh, ibadahnya mereka,” sahut Bapak tanpa berpaling
dari layar televisi.
Mendengar jawaban Bapak, saya punya sedikit pemahaman,
kenapa Bapak tidak menyetujui pilihan saya menjadi wartawan. Ada masa-masa
kebersamaan dalam keluarga yang akan terenggut bila saya tetap pada pilihan
itu. Meski demikian, itu tidak menyurutkan langkah saya. Menulis membuat saya
merasakan gairah hidup.
Demikianlah, saya memulai langkah untuk mencapai cita-cita
saya, menjadi jurnalis. Tidak mudah, memang. Kadang, saya merasa rintangan yang
saya hadapi terlalu banyak. Tetap saja, saya terus melangkah. Tertatih, kadang
tersesat, salah arah, tapi terus berjalan.
0 comments:
Post a Comment