Pages

Monday, 28 April 2014

Telimbai

     Siang kemarin, sepulang sekolah,  saya pergi ke ladang milik salah satu murid saya, Eli Beliem. Beberapa minggu belakangan ini, kami memasuki masa panen padi. Warga secara bergotong-royong "pungut padi" di kebun. Hari ini giliran keluarga Eli Beliem.
     Saya sudah pernah ikut pungut padi sebelumnya, sehingga dengan segera "meluruh" bulir-bulir padi yang telah menguning dan meletakkannya di bakul kecil yang telah saya bawa dari rumah.
     Tidak sulit melakukannya. Cukup menggenggam padi dari pangkal, lalu menariknya hingga bulir-bulirnya terlepas dan tertinggal dalam genggaman. Jika belum terbiasa, tangan akan tergores serat dan kulit padi. Apalagi, jika yang diluruh adalah jenis "padi besi". Ada dua jenis padi yang dikenal warga: padi halus dan padi besi. Perbedaannya terletak pada ketebalan kulit dan ketajaman serat pada ujung bilir padi. Keluarga Eli Beliem menanam jenis padi halus, sehingga tangan tidak terlalu sakit saat meluruh padi.
     Bulir-bulir ini kemudian dikumpulkan dalam bakul yang lebih besar dan diangkut ke satu tempat yang telah ditentukan. Karena Dusun Kolatuku terletak di daerah perbukitan dengan banyak jurang dan batu karang, sangat sulit membuat sawah. Alhasil,warga menanam padi maupun tanaman pokok lainnya di lereng-lereng yang rerjal dengan derajat kemiringan yang mencemaskan.
     Jika semua padi sudah terpungut, padi dalam karung-karung ini akan dikumpulkan ke satu tempat untuk diinjak nantinya. Pertama,kami menyiapkan satu lahan yang akan kami gunakan sebagai tempat Telimbai. Lalu, kami menyiapkan beberapa pelepah pisang sebagai alas paling bawah dan menutupinya dengan tikar lebar dari anyaman lontar.
     Proses injak padi/telimbai ini berlangsung sepanjang siang. Menjelang malam, bulir-bulir padi yang telah dikumpulkan dalam bakul-bakul besar, ditumpahkan di atas tikar. Beberapa orang akan mulai menginjak-injak padi dengan gerakan yang seirama sambil bernyanyi lagu Telimbai. Proses menginjak-injak ini dilakukan untuk merontokkan butir padi dari tangkai yang tercabut saat proses petik. Jadi, pada dasarnya Telimbai ini sama dengan tradisi panen padi di Jawa: padi diambil lalu dipisahkan dari tangkainya. Orang-orang yang membantu panen juga mendapat imbalan berupa jamuan makan dan sirih-pinang. Ketika pulang, bakul kecil yang dibawa dari rumah untuk menampung padi selama proses pemetikan, akan diisi penuh-penuh untuk dibawa pulang.
     Usai diinjak, butir padi diaduk-aduk sedemikian rupa untuk dipisahkan dari batangnya. Butiran-butiran tersebut lantas dikipasi dengan kipas besar untuk memisahkan dedak dan kulit-kulit padi yang kosong. Barulah, kemudian butiran tersebut diukur dengan ukuran blek bekas kue berukuran besar. Setiap 10 blek yang terkumpul,1 blek akan diserahkan kepada gereja untuk "penyerahan berkat", semacam sedekah atau zakat.
     Telimbai bisa berlangsung sepanjang malam sampai pagi tiba, tergantung banyaknya padi yang harus terkumpul. Jika ladangnya tidak besar/luas, padi yang dipanen tidak terlalu banyak. Seperti semalam, kami selesai telimbai sekitar pukul 2 dini hari, karena jumlah padi yang dipanen tidak terlalu banyak.
     Saya sangat menikmati kegiatan ini,meski mengantuk berat menjelang pukul 1 dini hari. Pada pukul 6 pagi, saya terbangun dan agak terkejut mendapati diri tertidur di semak-semak. Perlu waktu beberapa menit untuk mengingatkan saya ada di mana dan mengapa saya bisa berada di sana. Dan, meskipun masih mengantuk, lelah, dan merasa sakit di sekujur badan, saya tetap hadir di sekolah untuk mengajar....

0 comments:

Post a Comment