Pada Kamis, 13 Maret 2014 lalu, saya dan Ani mengunjungi
rumah Jonatan, salah satu murid kami di kelas 2. Ayah Jonatan telah selesai
memperbaiki mahkota bulu ayam yang biasa dipakai untuk menari Cakalele. Kami
berfoto, lengkap dengan selendang tenun, busur-panah, kelewang, dan mahkota
itu. Sesaat, saya merasa seperti pendekar. Hahaha….
Ijinkan saya memberikan sedikit penjelasan tentang Cakalele.
Menurut penuturan warga, Cakalele dulunya merupakan tarian perang yang
dipersembahkan untuk para raja. Tari Cakalele menceritakan kegagahan dan
keberanian para pendekar di jaman kerajaan dulu. Sekarang, setelah tidak ada
lagi raja-raja di Alor, Tari Cakalele ditarikan untuk menyambut para pejabat,
seperti Bupati, karena bupati dianggap pengganti raja. Ayah Jonatan merupakan
salah satu warga yang paling pintar menarikan Tari Cakalele.
Seperti yang telah saya sebutkan tadi, untuk menarikan Tari
Cakalele, diperlukan beberapa perlengkapan, seperti mahkota, selendang tenun,
sarung tenun, busur-panah, kelewang, lonceng yang diikatkan di kaki, tempat panah,
dan perisai. Mahkotanya menggunakan bulu-bulu ayam jantan yang panjang dan
melengkung dan lingkaran kepalanya dihiasi manik-manik; selendang dan sarungnya
merupakan hasil tenunan dengan corak yang sesuai dengan kekhasan daerah
masing-masing; busurnya terbuat dari kayu yang telah diukir sedemikian rupa,
sehingga saat hendak dipakai bisa dilengkungkan dan disaat tidak dipakai bisa
diluruskan agar tidak cepat patah; panahnya menggunakan batang bambu yang kecil
dan karena untuk menari mata panahnya, tidak seperti mata panah biasa, dibentuk
seperti lidah api; tempat panah terbuat dari batang bambu yang diameternya agak
besar; kelewangnya dikatakan punya kelamin: ada kelewang laki-laki dan kelewang
perempuan (mai); dan perisainya terbuat dari potongan kulit rusa yang telah
disamak, untuk menangkis panah yang dikirim musuh.
Tari Cakalele ini ditarikan laki-laki dan perempuan.
Cakalele versi laki-laki berbeda dengan Cakalele versi perempuan. Selain
gerakan, kelewangnya yang digunakan juga berbeda. Cakalele versi laki-laki
tentu saja menggunakan kelewang laki-laki. Sebaliknya, Cakalele versi perempuan
menggunakan kelewang mai. Saya dan Ani berharap mendapat kesempatan untuk
melihat dan mengabadikan tarian ini sebelum kami pulang Agustus nanti.
0 comments:
Post a Comment