Pages

Monday, 21 April 2014

Tari Cakalele





     Pada Kamis, 13 Maret 2014 lalu, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid kami di kelas 2. Ayah Jonatan telah selesai memperbaiki mahkota bulu ayam yang biasa dipakai untuk menari Cakalele. Kami berfoto, lengkap dengan selendang tenun, busur-panah, kelewang, dan mahkota itu. Sesaat, saya merasa seperti pendekar. Hahaha….
     Ijinkan saya memberikan sedikit penjelasan tentang Cakalele. Menurut penuturan warga, Cakalele dulunya merupakan tarian perang yang dipersembahkan untuk para raja. Tari Cakalele menceritakan kegagahan dan keberanian para pendekar di jaman kerajaan dulu. Sekarang, setelah tidak ada lagi raja-raja di Alor, Tari Cakalele ditarikan untuk menyambut para pejabat, seperti Bupati, karena bupati dianggap pengganti raja. Ayah Jonatan merupakan salah satu warga yang paling pintar menarikan Tari Cakalele.

     Seperti yang telah saya sebutkan tadi, untuk menarikan Tari Cakalele, diperlukan beberapa perlengkapan, seperti mahkota, selendang tenun, sarung tenun, busur-panah, kelewang, lonceng yang diikatkan di kaki, tempat panah, dan perisai. Mahkotanya menggunakan bulu-bulu ayam jantan yang panjang dan melengkung dan lingkaran kepalanya dihiasi manik-manik; selendang dan sarungnya merupakan hasil tenunan dengan corak yang sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing; busurnya terbuat dari kayu yang telah diukir sedemikian rupa, sehingga saat hendak dipakai bisa dilengkungkan dan disaat tidak dipakai bisa diluruskan agar tidak cepat patah; panahnya menggunakan batang bambu yang kecil dan karena untuk menari mata panahnya, tidak seperti mata panah biasa, dibentuk seperti lidah api; tempat panah terbuat dari batang bambu yang diameternya agak besar; kelewangnya dikatakan punya kelamin: ada kelewang laki-laki dan kelewang perempuan (mai); dan perisainya terbuat dari potongan kulit rusa yang telah disamak, untuk menangkis panah yang dikirim musuh.

 






 
     Tari Cakalele ini ditarikan laki-laki dan perempuan. Cakalele versi laki-laki berbeda dengan Cakalele versi perempuan. Selain gerakan, kelewangnya yang digunakan juga berbeda. Cakalele versi laki-laki tentu saja menggunakan kelewang laki-laki. Sebaliknya, Cakalele versi perempuan menggunakan kelewang mai. Saya dan Ani berharap mendapat kesempatan untuk melihat dan mengabadikan tarian ini sebelum kami pulang Agustus nanti.

0 comments:

Post a Comment