Pages

Thursday, 15 May 2014

Listrik is "Magic"

     Di desa saya, seperti halnya desa-desa lain tempat kami, para guru kontrak untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, listrik adalah barang langka dan merupakan sebuah kemewahan. Perusahaan Listrik Negara belum sanggup menjangkau seluruh daerah. Di Tonte, tempat tugas saya yang pertama, listrik didapat dari lampu TS (Tenaga Surya) sumbangan pemerintah. Lampu itu dilengkapi alat untuk menyimpan daya sehingga pada malam hari warga yang dipercaya untuk menyimpan alat tersebut di rumahnya dapat menyalakan lampu. Warga lain dapat menumpang charge handphone dan membayar sekadarnya, 2-3 ribu rupiah.
     Sebelum lampu TS dikenal, warga menggunakan pelita sebagai penerang. Sebuah kaleng susu bekas atau bekas kaleng cat diisi minyak tanah, seutas sumbu dimasukkan ke dalam pipa besi pendek lalu dibenamkan ke dalam kaleng. Itulah sumber penerang warga Tonte dan penduduk NTT pedesaan pada umumnya.
     Setahu saya, hanya Ibu Guru Anto, salah satu rekan kerja saya di sekolah, yang menyimpan alat itu. Hanya saja, beberapa hari kemudian, ketika saya baru selesai menelepon Kakak di satu spot menelepon dekat rumah, saya menemukan sebuah papan kayu tipis yang dipakukan ke sebatang pohon kelapa, yang berbunyi: "cas hape, 15 rb". Saya mengira telah salah membaca. Lima belas ribu untuk charge hp?!?!?!
     Bapa Obet, bapak angkat saya, meyakinkan saya bahwa saya tidak salah membaca. Ia menyarankan dengan sangat untuk tidak usah membuang uang sebanyak itu. Ibu Anto toh tidak pernah keberatan memberikan jasa charge gratis untuk saya.
     Dalam beberapa hari berikutnya, Bapa Obet terlihat lebih banyak berpikir dan bekerja daripada sebelumnya. Setelah beberapa saat seperti itu, ia berkata pada saya bahwa ia sedang mengumpulkan uang untuk membeli dinamo diesel baru karena dinamo yang lama  rusak dan telah terlalu sering diperbaiki. Ia merasa prihatin jika saya tidak bisa mengajar dengan baik tanpa listrik.
     Harga dinamo baru berkekuatan 3 kilo di Kalabahi mencapai 1,5-1,8 juta rupiah. Saya yang tidak mengerti mesin apalagi harga komponen-komponennya hanya mengangguk.
     Setelah beberapa minggu giat mengumpulkan kemiri, menjemur, dan menitik (memukulkan biji kemiri pada sebuah batu dengan bantuan alat khusus untuk memisahkan isi dengan kukitnya yang keras), Bapa Obet berhasil mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkan. Tapi, sebelum ia sempat pergi ke kota untuk membeli dinamo baru, Bapa Nathan, Ketua Komite Sekolah, datang bertamu ke rumah. Bapa Obet menyampaikan niatnya membeli dinamo untuk kehutuhan saya. Rupanya, Bapa Nathan datang ke rumah karena memang ingin membicarakan hal itu.
     Sekolah saya juga memiliki sebuah mesin generator-set dan sebuah mesin diesel. Keduanya rusak karena tidak dirawat dengan baik. Dinamo pada mesin diesel sekolah masih dalam keadaan baik dan Bapa Nathan berpikiran untuk meminjamkan dinamo tersebut pada Bapa Obet sehingga saya bisa mengerjakan administrasi sekolah dengan laptop. Saya girang buka main.
     Dalam beberapa hari berikutnya, Bapa Obet dan beberapa lelaki yang mengerti permesinan, tampak sibuk mengutak-atik mesin diesel. Setelah beberapa kali percobaan yang gagal dan beberapa kali girang sesaat lalu kecewa, mesin diesel di rumah akhirnya benar-benar meraung dengan keras, mengguncang kesunyian dusun. Banyak orang datang ke rumah silih-berganti hanya untuk menyaksikan bagaimana Bapa Obet mengutak-atik cd player yang mengalunkan lagu-lagu bernuansa natal. Saat itu, kami sudah mulai memasuki Desember. Natal adalah alasan lain ia ingin segera memperbaiki mesin diesel. Ia tak ingin kami berada dalam kegelapan saat Malam Kudus.
    Saya menari-nari seirama lagu-lagu natal yang diputar sangar keras oleh Bapa Obet hingga memekakkan telinga, tak peduli Mama Tina, mama angkat saya, istri Bapa Obet, menertawakan saya. Selamat tinggal, Kegelapan. Selamat tinggal, Bosan. Saya bernyanyi dalam hati.
     Saat malam benar-benar tiba, banyak orang berdatangan ke rumah, terutama anak-anak dan remaja. Umumnya, mereka adalah murid-murid di sekolah saya, tapi ada juga anak-anak di bawah usia sekolah dan remaja usia SMA. Rupanya, Bapa Obet memang biasa menyalakan televisi setiap malam, tentunya jika mesinnya tidak rusak. Mereka yang datang menonton membayar sebesar seribu rupiah per orang. Penonton pun duduk bergeletakan di setiap senti lantai ruang depan hingga malam. Rata-rata tontonannya sinetron. Meskipun laki-laki, bapa saya ini juga gemar menonton sinetron dan telah menjadi peraturan tak tertulis, penonton harus rela mengikuti selera pemegang remote. Tayangan sinetron tidak akan laku hanya jika ada pertandingan sepak bola.
     Charger laptop, handphone, dan mp3 player milik saya berjejer rapi, menyedot listrik dengan rakus setelah sekian lama kehausan.
     Di Dusun Kolatuku, tempat tugas saya yang baru, keadaannya tidak jauh berbeda, bahkan lebih tragis. Warga memang memiliki kesadaran lebih tinggi untuk memiliki sebuah mesin diesel untuk dipakai bersama. Maka, warga mengumpulkan uang lalu membeli sebuah mesin diesel untuk menerangi seluruh kampung. Hanya saja, Kolatuku baru mulai membuka jalan sehingga alat transportasi masih sangat jarang lalu-lalang di kampung. Karenanya, distribusi solar pun tersendat.
     Saat saya baru datang ke dusun ini, warga telah dua bulan tidak menikmati listrik karena ketiadaan solar. Beberapa minggu setelah saya datang, bapa/kakak angkat saya, Kaka Amos, pergi ke Kalabahi selama beberapa saat. Ketika kembali, ia menempuh jalur darat dengan menumpang sebuah oto (mobil). Ada kejutan di dalam oto itu: sedrum penuh solar untuk mesin diesel kampung!
     Tak kurang dari 2000 liter solar tersimpan di dalamnya. Cukup untuk menerangi kampung selama sebulan.
     Saya tidak tahu, penggunaan listrik di kampung ini telah dijadwal. Rabu, Sabtu, dan Minggu, adalah hari-hari terang-benderang dan bising dengan berbagai aliran lagu di beberapa rumah. Di beberapa rumah tertentu, salah satunya rumah Kaka Amos, warga berkumpul untuk menonton televisi.
     Tontonan favorit warga di kampung ini bukanlah sinetron seperti di Tonte. Di kampung ini, warga doyan menonton video-clip artis lokal Alor maupun Kupang dan film "Tete'Manis". Film yang saya sebutkan ini bukanlah judul yang sebenarnya.
     Sebenarnya, film yang dimaksud adalah film yang menceritakan tentang kelahiran Yesus Kristus dan perjalanan hidup-Nya.  Saya sendiri awalnya kurang mengerti dan benar-benar kebingungan dengan penamaan judul film itu. Setelah mendesak Guru Ben, kawan guru saya yang orang lokal, saya mendapat penjelasan.
     Jadi, di daerah ini, orang-orang menyebut "Tete' Manis" untuk "menghaluskan" menyebut Tuhan Yesus jika membujuk anak kecil, terutama yang masih balita, terutama yang sesekali masih suka menyusu meski sudah mulai agak besar. Orang-orang tua biasa berkata, "Jangan nakal-nakal, nanti Tete' Manis marah." Logikanya, masak Tuhan marah-marah? Nah, karenanya, para orang tua tidak menyebutkan nama Tuhan, melainkan dengan sebutan yang unik itu.
     Baik, kembali ke jalan yang benar. Meski video clip-video clip dan film "Tete' Manis" itu telah diputar dan ditonton ribuan kali, warga tetap senang menontonnya. Atau karena tidak ada tontonan lainkah?
     Karenanya, setiap listrik menyala dan saya tidak ada pekerjaan, saya akan memutarkan film-film yang ada di laptop saya. Untung sebelumnya saya sempat berburu banyak film dari Pepi, salah satu teman saya. Ia telah merampok banyak film dari setiap teman yang datang ke sekretariat dan saya merampok hasil rampokannya, sehingga koleksi film saya cukup banyak meski telah melalui penyortiran besar-besaran.
     Film yang paling disukai warga adalah film-film laga. Mungkin ini karena pengaruh watak orang Indonesia Timur yang cenderung keras. Saya juga hanya bisa berspekulasi. Meski demikian, penonton mengeluh bosan ketika saya memutarkan Ninja Asassin, karena menurut mereka aksi laganya kurang banyak. Begitu saya menggantinya dengan Transformer 3, keluhan-keluhan itu berganti dengan seruan-seruan kagum nan heboh. Penonton duduk dengan tegang menikmati setiap adegan yang memang lebih banyak tempurnya dibandingkan dengan Ninja Asassin. Apalagi, mobil-mobil di film ini bisa berubah-ubah bentuk, berbicara, bahkan "baku tengkar".
     Ketika pada kesempatan lain saya memutarkan film satu dari trilogi Merah-Putih yang menjadi salah satu film favorit saya karena ada Dony Alamsyah-nya (ehem-ehem), penonton tertegun meski adegan perangnya tidak terlalu banyak. Mungkin karena ini film Indonesia yang dialognya bisa dimengerti dengan cepat tanpa harus repot membaca subtitle seperti saat menonton Ninja Asassin.
     Meski bagi saya NA sangat keren, jelas film ini kurang cocok saya tunjukkan pada orang-orang ini karena mengandung beberapa kelemahan. Pertama, rata-rata penduduk dusun memiliki kecepatan membaca yang rendah dan NA adalah film laga yang lebih sering bicara daripada bertempur. Kedua, ya itu tadi, aksi laganya kurang banyak. Ketiga, alurnya lambat sehingga penonton keburu mengantuk dukuan. Keempat, temanya agak berat bagi orang-orang ini. Setelah saya memperhatikan, warga tidak terlalu peduli dengan jalan cerita. Mereka hanya peduli pada adegan pertarungan para aktor. Semakin banyak, semakin baik.
     Setiap kali saya menyaksikan warga menonton, saya memperhatikan ekspresi mereka, reaksi mereka pada setiap adegan, ketakjuban mereka, dan binar mata mereka. Setiap kali itu pula, saya merasa sesak di dada karena simpati. Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dalam batin saya, benarkah kami satu Indonesia? Mengapa kita tega meninggalkan mereka, saudara kita, demikian jauh?

Jejak Kehidupan dari Masa Lalu

          Ini adalah salinan sejarah Alor yang saya kutip dari buku berjudul Kabupaten Alor: Surga di Timur Matahari (Strategi Tancap Gas Ala Amon Djobo dan Imran Guru). Saya kutip untuk memberikan gambaran yang lebih dalam mengenai Alor.

     Salah satu dari beragam cerita yang paling banyak dikutip orang adalah kisah “Perang Maya” di masa lalu antara Kerajaan Abui di pedalaman wilayah pegunungan Pulau Alor dan Kerajaan Munaseli di ujung timur Pulau Pantar. Pada “Perang Maya” berabad lampau itu, masing-masing kerajaan mengerahkan daya mereka menggerakkan unsur-unsur utama alam. Para pendekar sakti Kerajaan Munaseli mengirimkan lebah ke Kerajaan Abui. Sebaliknya, para pendekar sakti Kerajaan Abui mengirimkan topan dan api ke Munaseli.
     Dari cerita lisan yang berkembang, tengkorak Raja Abui yang memimpin perang itu, masih tersimpan di sebuah goa yang terletak di Mataru. Selepas “Perang Maya” yang seolah mengekspresikan kisah Kabil dan Habil, dua putra Bapa Adam dengan Ibunda Hawa itu, berdirilah kerajaan-kerajaan baru, yaitu Kerajaan Bunga Bali di Alor Besar dan Kerajaan Pandai di dekat Munaseli. Perang lain juga terjadi antara Kerajaan Munaseli dengan Kerajaan Pandai. Kerajaan Munaseli yang terdesak, meminta bala bantuan dari Kerajaan Majapahit.
     Peristiwa yang konon terjadi pada abad ke-13 atau 14 itu mengundang masuk bala tentara Majapahit, kemudian bermukim di Munaseli, dan anak keturunannya menetap di sana sampai kini. Empu Prapanca dalam salah satu versi buku Negara Kertagama yang ditulisnya, mencatat peristiwa pengiriman bala tentanra itu bukan sebagai intervensi, melainkan sebagai bala bantuan, yang akhirnya menimbulkan sebutan tentang Pantar dengan Galiau. Persisnya, Galiau Watang Lema untuk melukiskan Pantar sebagai kawasan pesisir kepulauan.
Galiau juga mengandung maksud sebagai pumpunan atas lima kerajaan sebatih, meliputi Kerajaan Kui, Kerajaan Bunga Bali, Batulolong, Kolana, dan Alor di Pulau Alor. Kerajaan Alor, bahkan meliputi jazirah Kabola di bagian utara Pulau Alor. Di Pulau Pantar, terkenal Kerajaan Blagar, Pandai, dan Baranua yang sering juga disebut Baranusa. Dikatakan sebatih, karena para raja dari masing-masing kerajaan ini mengaku berasal dari leluhur yang sama di masa lampau, yaitu Mau Wolang dari Majapahit. Mereka lahir dan dibesarkan di Pandai.
     Dari cerita lisan yang berkembang hingga kini, masing-masing kerajaan mempunyai hubungan dagang dan membentuk aliansi dari Solor sampai Lembata. Mereka menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa dan Sulawesi, bahkan dengan masyarakat di kepulauan kecil yang masuk ke dalam wilayah Australia. Para pelaut dari Alor-Pantar melakukan pelayaran sampai ke Pulau Pasir di Australia di bagian utara.

Sumber:
Haesy, N. Syamsuddin CH. 2014. Kabupaten Alor: Surga di Timur Matahari (Strategi Tancap Gas Amon Djobo dan Imran Guru). Jakarta: Akar Padi Selaras Media

Feeling Sick

     Saya muak. Muak pada diri sendiri; pada pekerjaan; pada rutinitas saya; pada lingkungan saya; pada orang-orang di sekitar saya; pada semua hal. Saya seakan berjalan dalam dunia lain, dipandu oleh sebuah kekuatan tak dikenal yang menggerakkan saya tanpa sadar. Kenapa saya bisa merasa begitu? Karena saya tak lagi merasa benar-benar "hidup" dalam semua hal yang  saya jalani. Karena saya merasa menjalani kehidupan yang semestinya milik orang lain. Tidak ada lagi gairah; tidak ada lagi semangat; tidak ada keceriaan; tidak ada keinginan melanjutkan semua ini.
     Mungkin, ini adalah titik di mana seharusnya saya berhenti,lalu menoleh. Bukan ke belakang, tapi menoleh ke sekitar. Dengan begitu, saya sadar telah berada di mana,bersama siapa, lalu menikmati semuanya senikmat menikmati pemandangan puncak gunung setelah sebuah pendakian yang panjang. Tapi, tidak. Saya terus terdorong tanpa sempat berpikir; tanpa sempat merasakan lelah; tanpa sempat beristirahat. Terus berjalan tanpa sempat mengukur langkah. Karenanya, saya tak lagi punya kesadaran atas hidup yang sedang saya jalani.

Feeling Sick

     Saya muak. Muak pada diri sendiri; pada pekerjaan; pada rutinitas saya; pada lingkungan saya; pada orang-orang di sekitar saya; pada semua hal. Saya seakan berjalan dalam dunia lain, dipandu oleh sebuah kekuatan tak dikenal yang menggerakkan saya tanpa sadar. Kenapa saya bisa merasa begitu? Karena saya tak lagi merasa benar-benar "hidup" dalam semua hal yang  saya jalani. Karena saya merasa menjalani kehidupan yang semestinya milik orang lain. Tidak ada lagi gairah; tidak ada lagi semangat; tidak ada keceriaan; tidak ada keinginan melanjutkan semua ini.
     Mungkin, ini adalah titik di mana seharusnya saya berhenti,lalu menoleh. Bukan ke belakang, tapi menoleh ke sekitar. Dengan begitu, saya sadar telah berada di mana,bersama siapa, lalu menikmati semuanya senikmat menikmati pemandangan puncak gunung setelah sebuah pendakian yang panjang. Tapi, tidak. Saya terus terdorong tanpa sempat berpikir; tanpa sempat merasakan lelah; tanpa sempat beristirahat. Terus berjalan tanpa sempat mengukur langkah. Karenanya, saya tak lagi punya kesadaran atas hidup yang sedang saya jalani.

Monday, 28 April 2014

Telimbai

     Siang kemarin, sepulang sekolah,  saya pergi ke ladang milik salah satu murid saya, Eli Beliem. Beberapa minggu belakangan ini, kami memasuki masa panen padi. Warga secara bergotong-royong "pungut padi" di kebun. Hari ini giliran keluarga Eli Beliem.
     Saya sudah pernah ikut pungut padi sebelumnya, sehingga dengan segera "meluruh" bulir-bulir padi yang telah menguning dan meletakkannya di bakul kecil yang telah saya bawa dari rumah.
     Tidak sulit melakukannya. Cukup menggenggam padi dari pangkal, lalu menariknya hingga bulir-bulirnya terlepas dan tertinggal dalam genggaman. Jika belum terbiasa, tangan akan tergores serat dan kulit padi. Apalagi, jika yang diluruh adalah jenis "padi besi". Ada dua jenis padi yang dikenal warga: padi halus dan padi besi. Perbedaannya terletak pada ketebalan kulit dan ketajaman serat pada ujung bilir padi. Keluarga Eli Beliem menanam jenis padi halus, sehingga tangan tidak terlalu sakit saat meluruh padi.
     Bulir-bulir ini kemudian dikumpulkan dalam bakul yang lebih besar dan diangkut ke satu tempat yang telah ditentukan. Karena Dusun Kolatuku terletak di daerah perbukitan dengan banyak jurang dan batu karang, sangat sulit membuat sawah. Alhasil,warga menanam padi maupun tanaman pokok lainnya di lereng-lereng yang rerjal dengan derajat kemiringan yang mencemaskan.
     Jika semua padi sudah terpungut, padi dalam karung-karung ini akan dikumpulkan ke satu tempat untuk diinjak nantinya. Pertama,kami menyiapkan satu lahan yang akan kami gunakan sebagai tempat Telimbai. Lalu, kami menyiapkan beberapa pelepah pisang sebagai alas paling bawah dan menutupinya dengan tikar lebar dari anyaman lontar.
     Proses injak padi/telimbai ini berlangsung sepanjang siang. Menjelang malam, bulir-bulir padi yang telah dikumpulkan dalam bakul-bakul besar, ditumpahkan di atas tikar. Beberapa orang akan mulai menginjak-injak padi dengan gerakan yang seirama sambil bernyanyi lagu Telimbai. Proses menginjak-injak ini dilakukan untuk merontokkan butir padi dari tangkai yang tercabut saat proses petik. Jadi, pada dasarnya Telimbai ini sama dengan tradisi panen padi di Jawa: padi diambil lalu dipisahkan dari tangkainya. Orang-orang yang membantu panen juga mendapat imbalan berupa jamuan makan dan sirih-pinang. Ketika pulang, bakul kecil yang dibawa dari rumah untuk menampung padi selama proses pemetikan, akan diisi penuh-penuh untuk dibawa pulang.
     Usai diinjak, butir padi diaduk-aduk sedemikian rupa untuk dipisahkan dari batangnya. Butiran-butiran tersebut lantas dikipasi dengan kipas besar untuk memisahkan dedak dan kulit-kulit padi yang kosong. Barulah, kemudian butiran tersebut diukur dengan ukuran blek bekas kue berukuran besar. Setiap 10 blek yang terkumpul,1 blek akan diserahkan kepada gereja untuk "penyerahan berkat", semacam sedekah atau zakat.
     Telimbai bisa berlangsung sepanjang malam sampai pagi tiba, tergantung banyaknya padi yang harus terkumpul. Jika ladangnya tidak besar/luas, padi yang dipanen tidak terlalu banyak. Seperti semalam, kami selesai telimbai sekitar pukul 2 dini hari, karena jumlah padi yang dipanen tidak terlalu banyak.
     Saya sangat menikmati kegiatan ini,meski mengantuk berat menjelang pukul 1 dini hari. Pada pukul 6 pagi, saya terbangun dan agak terkejut mendapati diri tertidur di semak-semak. Perlu waktu beberapa menit untuk mengingatkan saya ada di mana dan mengapa saya bisa berada di sana. Dan, meskipun masih mengantuk, lelah, dan merasa sakit di sekujur badan, saya tetap hadir di sekolah untuk mengajar....

Sunday, 27 April 2014

Pertanggungjawaban (1)

     Saya telah ditegur oleh kakak lelaki saya tentang so many excuse atas tulisan saya yang mulai jarang muncul di blog ini. Jadi, inilah pertanggungjawaban saya atas kegiatan maupun peristiwa yang saya alami selama di Kolatuku.

Jumat, 14 Maret 2014
     Besok, saya genap 3 minggu tinggal di Dusun Kolatuku ini. Tak sekalipun terlintas keinginan meninggalkan dusun ini untuk sekadar berlibur ke Kota Kalabahi. Kalaupun saya ingin ke Kalabahi, itu bukan karena saya bosan di sini. Gaji yang dijanjikan belum juga turun hingga saat ini. Saya perlu segera membeli handphone android untuk memudahkan saya mengakses internet dan melakukan komunikasi murah-meriah. Handphone saya yang unyu-unyu itu terbukti boros pulsa.
     Listrik masih menjadi salah satu hal yang sulit didapat di sini. Tapi, sejauh ini saya sanggup mengatasinya. Ada banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini, sehingga kecanduan saya pada laptop dan internet bisa dialihkan.
     Kadang, saya main-main ke rumah warga, hanya duduk mengobrol, minum teh, bakar jagung, atau menikmati panganan khas daerah Kolatuku. Kemarin, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid saya, setelah mendengar informasi dari warga bahwa ayah Jonatan adalah penari Cakalele paling TOP di kampung.
     Bila tidak, saya patroli keliling dusun, mengawasi murid-murid untuk mengingatkan mereka belajar atau menegur bila ada yang berkelahi atau memaki. Ulangan Semester sudah dekat, tapi tak satu pun dari mereka merasa perlu belajar. Bahkan, Sarci, anak Kaka Amos, sering tidak menuruti nasihat saya dan kabur untuk bermain. Kalau sudah begitu, saya akan mulai mengomel dengan dingin. Anak ini biasa dimanja, seperti halnya anak-anak lain di Pulau Kenari ini.
     Mereka memang sering dipukul, dibentak, dan sebagainya. Tapi, anak-anak ini tetap bisa berbuat sesuka hati mereka: meneriaki orang tua, membantah, menendang atau memukuli orang tuanya, dan meronta keras. Mereka sudah tahu, kalaupun mereka berbuat salah, orang tua akan memukuli dan membentak mereka, tapi segera saja orang tua akan membujuk mereka lagi begitu mereka mulai menangis sedikit. Paling-paling orang tua hanya akan berkata, "Ini anak, Kepala Batu. Kalau kita tidak turuti dia punya kemauan, dia akan berontak."
     Saya pernah seperti itu ketika kecil. Saya menolak umtuk ke sekolah karena sesang penasaran, ingin tahu bagaimana rasanya holos sekolah. Sebagai imbalannya, saya mendapat sabetan keras sapu lidi yang masih baru: lemas dan besar. Kaki saya tergores hingga berdarah. Sejak hari itu, meskipun sakit, saya tetap sekolah, kecuali jika sakit itu membuat saya tidak bisa bangun dari pembaringan.
     Mungkin karena orang tua saya disiplin dan agak keras untuk urusan sekolah, sehingga saya takut bolos; mungkin juga karena trauma pasca disabet sapu lidi; atau mungkin karena saya menyadari pesona buku-buku di perpustakaan dengan lebih baik dibanding teman-teman yang lain, saya enggan untuk bolos.
     Murid-murid saya tidak takut kena marah akibat bolos, karena pukulan telah menjadi menu sehari-hari mereka di rumah. Menimbulkan rasa takut sebagai dasar untuk penegakan disiplin di sekolah, jelas bukan jalan keluar. Yang benar adalah menimbulkan rasa rindu anak pada sekolahnya, entah pada kawan-kawannya, gurunya, atau pelajarannya. Saya sedang mengusahakan langkah itu. Semoga berhasil! :-)

Percobaan (2)

     Baiklah, saya telah melihat hasil upload saya dengan Bloggeroid dan kurang puas dengan hasilnya. Apalagi, ketika mencoba aplikasi resmi Blogger, terlihat perbedaan yang cukup signifikan.
     Menulis bahan post dengan aplikasi ini lebih mudah, ada pengaturan untuk membuat huruf tebal dan miring, bisa menyertakan label tulisan, juga bisa menyertakan link.
     Meski demikian, saya masih kesulitan mengatur perataan tulisan menjadi rata kanan-kiri (justify). Kesulitan lainnya, tentu saja mengatur agar tulisan tidak salah ketik. Saya masih belum terbiasa menggunakan Bang Samsul yang touchscreen ini, sehingga masih sering mengalami salah ketik. Apalagi, jempol saya tidak berukuran kecil.... ~_~
     Buat mas-ku yang guanteng pol, jangan ngomel lagi, ya. Setelah ini, Adik akan lebih sering update status galau. Ups! :p

Percobaan

Saya berkali-kali mencoba memperbarui tulisan pada blog ini dengan cara konvensional: buka blogger.com-sign in-post something new about my life or work. Saya kira, setelah meninggalkan hape unyu-unyu saya yang lama (tidak betul-betul meninggalkan juga, sih) dan beralih ke android samsul yang putih mulus, upload tulisan baru akan jadi lebih mudah.Tapi, yang ada, bang samsul berkali-kali ngadat dan stuck di satu halamn putih kosong. Di-refresh berkali-kali pun, tidak ada perubahan.
Saya yakin, jika mas saya yang gualak dan suka mengomel (dia suka menyangkal) itu mendengar hal ini, akan ada lagi omelan yang saya dapat. Nah, supaya saya tidak capek diomelin dan mas saya tidak capek mengomel, saya berinisiatif mencari aplikasi khusus pengguna blogger.
Ada dua aplikasi yang saya temukan. Yang satu, Bloggeroid for Blogger. Yang satu lagi, tentu saja aplikasi resmi milik Blogger. Karena saya orang yang serakah, saya install saja keduanya pada si Bang Samsul. Saya menggunakan aplikasi yang pertama untuk tulisan ini sebagai bahan perbandingan.
Membuka aplikasi ini segampang menginstalnya. Sayangnya,ketika mulai menulis, saya tidak menemukan pilihan untuk pengaturan tulisan sehingga tulisan ini masih menggunakan perataan kiri saja. Saya juga bingung cara melampirkan file foto untuk tulisan saya.
Nah, cukup sekian percobaan aplikasi ini. Saya perlu melihat tampilan akhirnya....

Monday, 21 April 2014

Tari Cakalele





     Pada Kamis, 13 Maret 2014 lalu, saya dan Ani mengunjungi rumah Jonatan, salah satu murid kami di kelas 2. Ayah Jonatan telah selesai memperbaiki mahkota bulu ayam yang biasa dipakai untuk menari Cakalele. Kami berfoto, lengkap dengan selendang tenun, busur-panah, kelewang, dan mahkota itu. Sesaat, saya merasa seperti pendekar. Hahaha….
     Ijinkan saya memberikan sedikit penjelasan tentang Cakalele. Menurut penuturan warga, Cakalele dulunya merupakan tarian perang yang dipersembahkan untuk para raja. Tari Cakalele menceritakan kegagahan dan keberanian para pendekar di jaman kerajaan dulu. Sekarang, setelah tidak ada lagi raja-raja di Alor, Tari Cakalele ditarikan untuk menyambut para pejabat, seperti Bupati, karena bupati dianggap pengganti raja. Ayah Jonatan merupakan salah satu warga yang paling pintar menarikan Tari Cakalele.

     Seperti yang telah saya sebutkan tadi, untuk menarikan Tari Cakalele, diperlukan beberapa perlengkapan, seperti mahkota, selendang tenun, sarung tenun, busur-panah, kelewang, lonceng yang diikatkan di kaki, tempat panah, dan perisai. Mahkotanya menggunakan bulu-bulu ayam jantan yang panjang dan melengkung dan lingkaran kepalanya dihiasi manik-manik; selendang dan sarungnya merupakan hasil tenunan dengan corak yang sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing; busurnya terbuat dari kayu yang telah diukir sedemikian rupa, sehingga saat hendak dipakai bisa dilengkungkan dan disaat tidak dipakai bisa diluruskan agar tidak cepat patah; panahnya menggunakan batang bambu yang kecil dan karena untuk menari mata panahnya, tidak seperti mata panah biasa, dibentuk seperti lidah api; tempat panah terbuat dari batang bambu yang diameternya agak besar; kelewangnya dikatakan punya kelamin: ada kelewang laki-laki dan kelewang perempuan (mai); dan perisainya terbuat dari potongan kulit rusa yang telah disamak, untuk menangkis panah yang dikirim musuh.

 






 
     Tari Cakalele ini ditarikan laki-laki dan perempuan. Cakalele versi laki-laki berbeda dengan Cakalele versi perempuan. Selain gerakan, kelewangnya yang digunakan juga berbeda. Cakalele versi laki-laki tentu saja menggunakan kelewang laki-laki. Sebaliknya, Cakalele versi perempuan menggunakan kelewang mai. Saya dan Ani berharap mendapat kesempatan untuk melihat dan mengabadikan tarian ini sebelum kami pulang Agustus nanti.

Pesta Jagung

     Kami pesta jagung. Berpuluh-puluh bongkol jagung terbaik dan terbesar didatangkan dari kebun-kebun warga. Siang sepulang dari gereja, satu per satu warga muali berdatangan dan berkumpul di bawah gudang gereja. Segera saja, asap mengebul dari bawah gudang. Kami bergantian melempar jagung ke tengah api, dengan atau tanpa kulitnya, sesuai selera.


     Ini memang telah menjadi semacam tradisi bagi warga Kolatuku. Hari minggu pertama bulan Maret, ketika jagung sudah besar, masih muda, tapi sudah hampir siap dipanen, seluruh warga mengumpulkan sedikit hasil kebun jagungnya untuk dinikmati bersama-sama. Sebagian jagung kami bakar; sebagian direbus; diparut lalu dikukus jadi kue; dan dimasak dengan sayur menjadi jagung ketemak.

Sebagian jagung yang terkumpul

Bapa Amos, pendeta dusun sekaligus kakak asuh saya, memimpin Sembahyang Minggu dan memberkati jagung dan sayur sebelum pesta

     Selain jagung, ada juga warga yang membawa semacam semangka (atau melon). Ada yang berwarna putih, ada yang kuning agak oranye. Awalnya, saya pikir itu labu besar.

Berebut: ada yang menyebutnya semangka, ada pula yang menyebutnya mentimun. Yang jelas, ini adalah labu yang masih sangat muda. Dalam waktu sekejap, dua nampan buah yang manis dan segar ini langsung ludes.

     Kami minum teh sambil makan jagung bakar dan jagung rebus, diselingi semangka. Saya merasa perut saya hampir meledak setelah makan 2 jagung: satu jagung rebus dan satu jagung bakar. Perut saya masih belum bisa diisi banyak-banyak. Saya mulai panik, karena masih harus makan kue jagung dan makan besar (istilah untuk makan nasi). Keduanya sama-sama mengandung karbohidrat tinggi dan makan nasinya disertai lauk berupa daging rusa hasil perburuan para pemuda di hutan pada hari Jumat dan Sabtu.

 Nepa dorang (bapak-bapak) duduk santai di bawah Langwah (gudang milik keluarga Playkari)

Dapur umum. Neweng dorang (para mama/ibu-ibu) sibuk menyiapkan api untuk memasak.

     Ani, temanku, membawa salah satu labu besar yang akan dimasak menjadi sayur. Masih ada yang lebih besar, tapi ketika sudah terpotong-potong saat kami datang.

     Beruntung, ada panggilan dari Kepala Dusun, Bapa Bastian Kulaibana. Ekskavator yang beberapa hari ini menginap di rumah saya hendak berangkat, kembali ke Kalabahi. Tugasnya telah selesai di sini: membuka jalan yang lebih lebar agar Kolatuku bisa dijangkau alat transportasi darat. Pesta jagung ditunda sebentar dan saya punya kesempatan untuk menenangkan perut yang mulai protes kepenuhan. Pendeta desa, Bapa Amos, memimpin doa. Kami berdoa dengan khusyuk. Saya merasa, kekhusyukan warga dalam berdoa terlalu serius. Saya tak percaya, warga sekampung betul-betul mendoakan sebuah mesin besar, benda mati. Tapi, mendengar kata-kata Bapa Amos yang memimpin doa, saya menyadari, demikian berartinya kehadiran ekskavator itu bagi mereka dan mendoakan keselamatan si mesin beserta para penumpangnya merupakan satu cara mereka berterima kasih dan bersyukur atas kesempatan meraih kemajuan yang diberikan pada mereka.
      Seperti halnya Tonte, Kolatuku merupakan salah satu dusun yang terletak di puncak salah satu bukit dari sekian banyak bukit yang membentang di daratan Alor Selatan. Dibandingkan daerah lain, Dusun Kolatuku termasuk daerah yang masih terisolir karena akses transportasi yang belum ada. Selama beberapa bulan terakhir, ekskavator kuning besar itu membuka jalan, memberi harapan besar bagi para warga yang selama ini memikul berbakul-bakul kemiri dengan berjalan kaki dan menempuh 6 km perjalanan yang menanjak dan menurun menuju Kiraman untuk menjual kemiri. Mereka berharap, dalam beberapa waktu, mereka tidak perlu lagi berjalan kaki untuk menempuh jalan itu hanya untuk menjual sebakul kemiri di Kiraman demi sejumlah uang yang tak seberapa. Mereka berharap, hidup mereka akan semakmur dusun-dusun lain yang telah lebih dulu mengecap kenikmatan pembangunan.

Memulai Hidup Baru

     Saya berusaha untuk terus rutin menulis tentang rutinitas saya di sini. Tapi, sungguh sulit meluangkan waktu, meski saya tak sesibuk ketika di Tonte. Setidaknya, jadwal mengajar saya tidak sepadat dulu. Dengan jadwal yang lebih fleksibel, saya pikir, saya akan punya lebih banyak waktu untuk menulis. Ternyata, saya salah.

Gudang Gereja

     Hidup di Kolatuku ini memang membuat saya jauh, jauh lebih bahagia, sehingga selalu muncul keinginan untuk mengabadikan setiap detail kejadian yang saya alami di sini. Tapi, kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah warga dan petualangan-petualangan kecil dengan murid-umrid membuat saya nyaris tak punya waktu untuk menulis.
     Pulang sekolah, saya makan siang dengan Bapa/Kakak Amos, pendeta yang menjadi kakak angkat saya. Kakak Agustina, istrinya, atau Sarci, anaknya yang jadi murid saya di kelas 2, yang akan menghidangkan makan siang. Kadang, saya tidur siang dulu sehabis makan. Kadang, tanpa tidur siang, saya langsung pamit kelayapan.
     Biasanya, saya pergi dengan Ani, teman sesama guru yang tugas dinas di sini. Kadang, anak-anak ikut menemani, kadang kami hanya berdua, sehingga kami dijuluki “niningork koidung” alias saudara kembar.
     Hari Jumat akhir Februari lalu, kami pergi ke kali. Naik-turun bukit yang curam, melintasi sawah dan kebun jagung, digigiti nyamuk super ganas, kaki mulai memprotes. Tapi, begitu kami menceburkan diri ke air sungai yang sedingin es, semuanya terbayar. Murid-murid berkejaran sambil telanjang, laki-laki dan perempuan. Mereka belum mengenal perbedaan kelamin.
Mandi di kali

     Saat mampir ke kebun Feronika, salah satu murid saya, kami disuguhi daging rusa. Nikmat sekali, meski tanpa bumbu apapun.
     Penduduk Kolatuku lebih tertib dan ramah. Lebih beradablah. Mereka memarahi anak-anak yang mencuri, tapi selalu ikhlas memberi jika ada yang meminta sesuatu pada mereka. Anak-anak ditegur jika berkelahi atau bicara tidak sopan dan tidak memberi contoh yang buruk di depan anak-anak itu. Mereka juga terbuka terhadap perbedaan dan bersedia mengajari saya bahasa daerah. Mereka berseru senang setiap saya mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah. Ketika saya berhasil menyanyikan satu bait lagu daerah Kolatuku, mereka lebih terkagum-kagum lagi.
     Saya melihat perlengkapan tari Cakalele khas Kolatuku di rumah Jonatan, salah satu murid saya yang lain, dan berniat mempelajari tarian itu sampai bisa. Saya juga ingin belajar menenun kain khas Kolatuku, berhubung Kakak Agustina adalah seorang penenun Kain. Saat ini, ia sedang cuti kerena menyusui bayinya yang berumur 10 bulan, Efata Reinhard. Sayangnya, ia tidak bisa mengajari saya menenun, karena ada mitos, bahwa jika orang luar suatu daerah belajar menenun corak daerah lainnya, maka orang itu akan sakit secara misterius. Misalnya, orang dari daerah pesisir Kiraman tidak boleh belajar corak tenun daerah pegunungan Kolatuku. Itu sebabnya, masing-masing daerah di Alor punya corak tenun khas daerah masing-masing, tidak tercemar oleh corak dari daerah lain.

     Suasana yang saya hadapi di sekolah sungguh berbeda. Anak-anak di sini lebih berani daripada anak-anak di Tonte, juga lebih sopan. Mereka lebih sering berbahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dengan orang tua yang lebih sadar dalam berkata-kata, saya hampir-hampir tidak pernah mendengar anak-anak ini mengumpatkan kata-kata kasar atau kata-kata kotor.
     Ani mengatakan, awalnya anak-anak ini juga pemalu. Tapi, seiring waktu, Ani berhasil mengubah anak-anak ini menjadi lebih percaya diri dan berani bicara.
Suasana belajar di kelas

 Magdalena dan Jonatan

     Saya tidak pernah mengajar anak SD sebelumnya, terlebih kelas-kelas pemula seperti kelas 1 dan kelas 2. Susah-susah gampang menghadapi mereka. Asalkan bisa menarik perhatian mereka, langkah berikutnya akan terasa lebih mudah, karena anak-anak pada dasarnya adalah makhluk-makhluk kecil yang sangat ingin tahu dan suka penasaran. Susahnya, kalau sudah ada yang kentut dalam kelas (bau sekali!), berkelahi, menangis, ngambek, dll. Guru yang sedang mengajar harus punya stok kesabaran yang tak terbatas.
Bermain di halaman sekolah
 
     Mengajar anak-anak sekecil ini, kami diharuskan cerewet. Anak-anak cenderung mengiyakan apapun yang dikatakan guru, meski tidak sepenuhnya mengerti. Untuk memastikan kami mendapat pengertian murid seperti yang kami harapkan, kami harus mengulang penjelasan hingga berkali-kali dan melakukan konfirmasi.

 
Senyum ceria yang menggemaskan
 
     Administrasi di sekolah ini juga lebih tertib. Saya dapat tugas piket tiap hari Jumat. Selain memastikan kedisiplinan anak, saya harus mencatat absensi, membuat laporan piket, dll. Saya belajar banyak di sini, karena selama mengajar di Tonte, maupun di daerah asal saya, saya selalu mengajar di sekolah yang tidak rapi dalam mengurus administrasi sekolah, sehingga saya tidak sepenuhnya tahu tugas seorang guru selain mengajar.
     Tugas mengajar saya di sini juga tidak seberat ketika di Tonte, karena ada guru-guru lain yang juga mengajar di sini. Saya terangsang untuk menjadi guru yang asyik (lagi), karena guru-guru lain punya kreativitas mengajar tersendiri. Saya tak hanya sekadar masuk kelas dan mencatatkan pelajaran hingga muak. Saya bernyanyi, tertawa, berteriak, melompat-lompat bersama murid-murid.
     Saya mengajarkan Bahasa Indonesia, SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan) dan PKn. Segalanya terasa lebih mudah dan menyenangkan.
     Selain karena tingginya jam terbang saya bertualang bersama murid-murid, saya juga kesulitan menjangkau jaringan internet karena ketiadaan listrik yang lebih parah dibandingkan dengan saat di Tonte. Jalan yang belum terbuka membuat desa kami sulit dijangkau sehingga distribusi bensin untuk bahan bakar mesin diesel maupun genset di desa agak mandeg. Ketika ada mobil yang kebetulan lewat, kami bisa mendapat cukup kiriman bahan bakar untuk membuat desa terang selama beberapa waktu. Tapi, jika tidak, kami harus menyabarkan diri hidup tanpa listrik beberapa hari.
     Meskipun banyak rumah sudah menggunakan lampu bertenaga surya (lampu TS), beberapa lainnya masih setia menggunakan pelita karena belum mampu membeli lampu TS. Kami juga memerlukan listrik untuk mengisi baterai handphone. Tapi, selain untuk kepentingan pencahayaan dan charge hp, kami sudah cukup bahagia dengan apa yang ada di sini.