Saya telah sampai di Dusun Kolatuku/Kolotuku, Desa Kiraman,
setelah perjalanan sehari penuh yang seru. Meski Sabtu malam kemarin saya telah
tiba, baru sekarang saya punya kesempatan untuk menuliskan pengalaman saya
menuju tempat ini karena banyaknya pertemuan yang saya hadiri sejak tiba di
sini.
Pukul 06.30 WITA, perahu motor yang saya tumpangi telah
berangkat dari Pelabuhan Kalabahi menuju Desa Kiraman. Saya sangat bersyukur,
ombak tidak seganas beberapa hari lalu, ketika saya kembali dari Pulau Pantar.
Hanya hujan sedingin es yang membuat saya gentar menghadapi perjalanan ini.
Awak kapal terpaksa menutup sisi kiri dan kanan perahu motor dengan terpal
karena seluruh penumpang mulai basah kuyup tersiram hujan dan percikan ombak.
Menjelang siang, cuaca mulai bersahabat. Meski masih
gerimis, ombak tidak lagi ganas, dan matahari tak lagi tertutup awan. Saya dan
Bapa Esrom, Kepala Sekolah saya yang baru, makan siang nasi dengan lauk ikan
goreng. Sederhana, tapi nikmat. Dengan perut kenyang, saya tidur sepanjang sisa
perjalanan, bersandar pada tiang kapal.
Wajah saya mulai tersengat matahari yang meninggi hingga
saya terbangun karena silau. Saat itulah, Bapa Esrom memberitahu saya bahwa
kami telah sampai di pelabuhan Kiraman. Saya melihat sosok-sosok orang yang telah
datang menjemput saya, salah satunya Ani, teman saya. Saya masih
bertanya-tanya, bagaimana caranya dua tas dan koper besar nan berat yang saya
bawa bisa sampai ke Kolatuku nanti, sementara di sini tidak ada angkutan umum
maupun ojek.
Dua tas saya langsung disambar oleh Bapa Beni, salah satu
guru yang akan menjadi rekan mengajar saya di SD Negeri Kolatuku dan seorang
mama yang ikut menjemput, sementara bungkusan berisi pelampung saya telah
diangkut seorang murid SD saya. Kopor yang besar itu, dipanggul Bapa Lukas,
rekan guru saya yang lain.
Kami mampir ke rumah seorang guru di sana untuk makan dan
istirahat sejenak. Bapa Esrom mengatakan, bahwa koper akan ditinggal di rumah
itu. Nanti sore atau besok, akan ada pemuda yang membawakannya ke rumah di
Kolatuku. Kami tidak perlu direpotkan oleh barang besar itu, katanya. Saya
mengiyakan saja.
Saya telah diingatkan, bahwa perjalanan ke Kolatuku sangat
panjang dan melelahkan. Sesore itu baru berangkat dari Kiraman, kami baru akan
tiba di Kolatuku setelah malam menjelang. Saya tidak ingin memikirkan, berapa
jauh jarak yang harus kami tempuh atau berapa lama kami harus berjalan.
Bersama Ani dan para penjemput saya yang lain, saya berjalan
dengan gembira. Memang, adakalanya saya mulai ngos-ngosan, kaki sepertinya memprotes
beratnya perjalanan itu, dan kepala saya terasa pening. Pening kepala itu saya
anggap karena masih terpengaruh perasaan terombang-ambing dalam perjalanan laut
dari Pulau Pantar yang mengerikan. Keberadaan orang-orang yang menemani saya
sepanjang jalan ini membuat saya melupakan lelah yang mendera.
Benar saja, langit telah gelap dan mata saya mulai buta arah
ketika Ani memberitahu saya, bahwa kami, akhirnya, telah sampai. Beberapa warga
yang telah pulang dari kebun, menanti saya di depan rumah, menyalami dan
menyambut kedatangan saya dengan ramah, termasuk Kepala Dusun.
Samar-samar, saya melihat gedung sekolah saya yang baru.
Saya diajak beristirahat di sebuah bale-bale kayu beratap rumbia yang besar.
Katanya, itu gudang gereja. Saya melirik handphone
untuk mengetahui waktu. Pukul 18.34. Rupanya, kami telah berjalan kaki
selama 4 jam, naik-turun gunung. Saya membandingkan, jarak Kiraman-Kolatuku,
tampaknya sama jauhnya dengan jarak Tamakh-Tonte. Sayangnya, di Kiraman belum
ada warga yang memiliki motor dan berprofesi sebagai ojek desa.
Saya berharap, bisa langsung mandi begitu tiba. Apalagi,
saya harus menghadiri pertemuan dengan pemuka desa sebagai prosesi penerimaan
kehadiran saya di dusun ini. Maksud saya, mumpung tubuh masih panas dan
berkeringat, lebih baik langsung mandi, karena udara telah terasa dingin
menusuk. Saya khawatir, sifat saya yang malas mandi akan menjadikan dinginnya
udara sebagai pembenaran untuk tidak mandi malam itu.
Sayangnya, saya memang tidak diijinkan mandi, karena para
pemuka desa mulai berdatangan. Saya duduk di bale-bale bersama mereka. Mulai
kedinginan dan sudah memutuskan tidak usah mandi saja. Kami menikmati teh dan
kopi panas dengan jagung rebus. Seperti di Tonte, jagung di sini keras, tapi
jagung Kolatuku lebih manis.
Seperti yang telah saya dengar dari Ani tentang Dusun
Kolatuku, warga di sini ramah dan hangat. Mereka lebih terbuka menerima saya
dan kehadiran saya diterima melalui sebuah pertemuan khusus yang khidmat. Kami
berkumpul, duduk bersama, berdoa, lalu makan jagung bersama setelah mereka
mempersilakan saya memperkenalkan diri. Mereka bertanya alasan kepindahan saya,
menjelaskan alasan mereka bersedia menerima saya, dan mengajak saya mengobrol
tentang diri saya maupun tentang Dusun Kolatuku secara umum.
Keesokan siangnya, setelah semua warga selesai kebaktian di
gereja dan makan siang, kami dikumpulkan kembali. Karena semalam tidak semua
warga hadir pada pertemuan, maka Minggu siang saya diajak berkenalan dengan
warga Dusun Kolatuku. Banyak orang yang hadir dan saya merasa seperti Donal
Bebek di Disneyland yang diperhatikan orang-orang ke manapun saya pergi, apapun
yang saya lakukan.
Ketua Komite Sekolah mempersilakan saya memperkenalkan diri
sekali lagi kepada warga dusun dan membuka kesempatan bagi warga yang ingin
bertanya-tanya tentang beberapa hal yang lebih personal. Beberapa warga dengan
malu-malu bertanya tentang warna favorit, makanan kesukaan, sampai status
hubungan yang saya jawab dengan, “Hampir.”
Memang, setiap kali ada orang yang bertanya, “Maaf, Ibu sudah
punya calon (suami)?” saya selalu menjawab ada, meski saya 100% jomblo tidak
laku. Itu karena, ketika pada satu kesempatan saya menjawab “Belum punya
calon,” maka orang yang bertanya itu mulai merekomendasikan semua bujangan yang
dikenalnya, mulai dari anaknya sendiri, keponakannya, kemenakan jauh, sampai
anak tetangga atau saudara jauh dari tetangganya. Saya telah dipesan untuk
tidak memberi peluang perjodohan semacam itu, karena tugas saya di sini
mengajar dan mengadakan program kemasyarakatan. Sejak saat itu, untuk setiap
pertanyaan tentang calon itu, saya selalu menjawab, “Hampir,” (hampir karatan
jadi jomblo).
***
Murid-murid saya adalah anak-anak yang ceriwis. Beda dengan
murid di tempat saya yang dulu yang sangat pendiam dan pemalu. Enam bulan mengajar
mereka, saya tidak mampu membuat perubahan sikap pada perilaku anak-anak
tersebut.
Murid-murid saya sangat mengagumi kulit saya yang lebih
terang daripada kulit mereka dan lebih wangi daripada semua kulit yang pernah
mereka baui, rambut saya yang lebih halus dan lebih lurus, tahi lalat di tangan
dan kaki saya….
Ketika siang tadi saya iseng jalan-jalan, beberapa murid
melihat saya dan mengikuti saya ke mana-mana. Mereka bahkan tidak malu-malu
menggenggam kedua tangan saya, berjalan beriringan bersama sama. Mereka
mengoceh banyak hal, mengomentari fisik saya dengan kagum, mengajari saya
beberapa kalimat dalam bahasa Kolatuku. Salah satu hal yang luar biasa dari NTT
adalah banyaknya jumlah bahasa daerah yang dimiliki. Kabupaten Alor saja, kalau
tidak salah ingat, memiliki 54 bahasa daerah. Itu belum termasuk bahasa daerah
yang telah punah.
Salah satu murid saya berseru heran ketika mereka
membelai-belai rambut saya saat saya berbaring di bale-bale gudang di rumah
yang ditempat Ani (kami tinggal di rumah orang tua angkat yang berbeda).
Awalnya, mereka terheran-heran dengan rambut saya yang terasa sangat halus di
tangan mereka. Ketika mereka menyibak rambut saya, mereka mulai mengoceh ribut
tentang kulit kepala saya.
“Iiii… Ibu pu kulit kepala, putih macam susu!” (Iiii… Kulit kepala Ibu putih seperti susu).
Kemudian mereka meraba telapak kaki saya dan berkata, "Ibu pu telapak, licin." (Telapak kaki Ibu licin). Saya agak geli juga mendengar komentar tentang telapak kaki yang licin itu. Mungkin maksud mereka, telapak kaki saya halus, beda dengan telapak mereka yang lebih kasar karena mereka sering bermain tanpa alas kaki.
Mereka juga terus-menerus mengatakan bahwa saya cantik.
Huahaha… Anak-anak memang tidak pernah berbohong.
Pada intinya, dengan segala perbandingan antara Dusun
Kolatuku ini dan desa tempat saya bertugas sebelumnya, saya jauh, jauh lebih
bahagia berada di sini. Saya dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan
bersikap lebih terbuka pada saya. Padahal, jika dilihat dari segi tingkat
pendidikan yang pernah dienyam, para orang tua di sini sama saja tingkat pendidikannya
dengan orang-orang di desa saya dulu. Banyak di antara mereka yang juga tidak
lulus SD, tapi mereka lebih beradab.
Di sini, saya banyak mengobrol, banyak tertawa. Saya tidak
lagi terkurung di rumah; tidak lagi merasa stress dan tertekan; tidak lagi
merasa jenuh; tidak lagi merasa galau. I’m so much happier!!!
