Pages

Monday, 24 February 2014

A New Beginning

     Saya telah sampai di Dusun Kolatuku/Kolotuku, Desa Kiraman, setelah perjalanan sehari penuh yang seru. Meski Sabtu malam kemarin saya telah tiba, baru sekarang saya punya kesempatan untuk menuliskan pengalaman saya menuju tempat ini karena banyaknya pertemuan yang saya hadiri sejak tiba di sini.
     Pukul 06.30 WITA, perahu motor yang saya tumpangi telah berangkat dari Pelabuhan Kalabahi menuju Desa Kiraman. Saya sangat bersyukur, ombak tidak seganas beberapa hari lalu, ketika saya kembali dari Pulau Pantar. Hanya hujan sedingin es yang membuat saya gentar menghadapi perjalanan ini. Awak kapal terpaksa menutup sisi kiri dan kanan perahu motor dengan terpal karena seluruh penumpang mulai basah kuyup tersiram hujan dan percikan ombak.
     Menjelang siang, cuaca mulai bersahabat. Meski masih gerimis, ombak tidak lagi ganas, dan matahari tak lagi tertutup awan. Saya dan Bapa Esrom, Kepala Sekolah saya yang baru, makan siang nasi dengan lauk ikan goreng. Sederhana, tapi nikmat. Dengan perut kenyang, saya tidur sepanjang sisa perjalanan, bersandar pada tiang kapal.
     Wajah saya mulai tersengat matahari yang meninggi hingga saya terbangun karena silau. Saat itulah, Bapa Esrom memberitahu saya bahwa kami telah sampai di pelabuhan Kiraman. Saya melihat sosok-sosok orang yang telah datang menjemput saya, salah satunya Ani, teman saya. Saya masih bertanya-tanya, bagaimana caranya dua tas dan koper besar nan berat yang saya bawa bisa sampai ke Kolatuku nanti, sementara di sini tidak ada angkutan umum maupun ojek.
     Dua tas saya langsung disambar oleh Bapa Beni, salah satu guru yang akan menjadi rekan mengajar saya di SD Negeri Kolatuku dan seorang mama yang ikut menjemput, sementara bungkusan berisi pelampung saya telah diangkut seorang murid SD saya. Kopor yang besar itu, dipanggul Bapa Lukas, rekan guru saya yang lain.
     Kami mampir ke rumah seorang guru di sana untuk makan dan istirahat sejenak. Bapa Esrom mengatakan, bahwa koper akan ditinggal di rumah itu. Nanti sore atau besok, akan ada pemuda yang membawakannya ke rumah di Kolatuku. Kami tidak perlu direpotkan oleh barang besar itu, katanya. Saya mengiyakan saja.
     Saya telah diingatkan, bahwa perjalanan ke Kolatuku sangat panjang dan melelahkan. Sesore itu baru berangkat dari Kiraman, kami baru akan tiba di Kolatuku setelah malam menjelang. Saya tidak ingin memikirkan, berapa jauh jarak yang harus kami tempuh atau berapa lama kami harus berjalan.
     Bersama Ani dan para penjemput saya yang lain, saya berjalan dengan gembira. Memang, adakalanya saya mulai ngos-ngosan, kaki sepertinya memprotes beratnya perjalanan itu, dan kepala saya terasa pening. Pening kepala itu saya anggap karena masih terpengaruh perasaan terombang-ambing dalam perjalanan laut dari Pulau Pantar yang mengerikan. Keberadaan orang-orang yang menemani saya sepanjang jalan ini membuat saya melupakan lelah yang mendera.
     Benar saja, langit telah gelap dan mata saya mulai buta arah ketika Ani memberitahu saya, bahwa kami, akhirnya, telah sampai. Beberapa warga yang telah pulang dari kebun, menanti saya di depan rumah, menyalami dan menyambut kedatangan saya dengan ramah, termasuk Kepala Dusun.
     Samar-samar, saya melihat gedung sekolah saya yang baru. Saya diajak beristirahat di sebuah bale-bale kayu beratap rumbia yang besar. Katanya, itu gudang gereja. Saya melirik handphone untuk mengetahui waktu. Pukul 18.34. Rupanya, kami telah berjalan kaki selama 4 jam, naik-turun gunung. Saya membandingkan, jarak Kiraman-Kolatuku, tampaknya sama jauhnya dengan jarak Tamakh-Tonte. Sayangnya, di Kiraman belum ada warga yang memiliki motor dan berprofesi sebagai ojek desa.
     Saya berharap, bisa langsung mandi begitu tiba. Apalagi, saya harus menghadiri pertemuan dengan pemuka desa sebagai prosesi penerimaan kehadiran saya di dusun ini. Maksud saya, mumpung tubuh masih panas dan berkeringat, lebih baik langsung mandi, karena udara telah terasa dingin menusuk. Saya khawatir, sifat saya yang malas mandi akan menjadikan dinginnya udara sebagai pembenaran untuk tidak mandi malam itu.
     Sayangnya, saya memang tidak diijinkan mandi, karena para pemuka desa mulai berdatangan. Saya duduk di bale-bale bersama mereka. Mulai kedinginan dan sudah memutuskan tidak usah mandi saja. Kami menikmati teh dan kopi panas dengan jagung rebus. Seperti di Tonte, jagung di sini keras, tapi jagung Kolatuku lebih manis.
     Seperti yang telah saya dengar dari Ani tentang Dusun Kolatuku, warga di sini ramah dan hangat. Mereka lebih terbuka menerima saya dan kehadiran saya diterima melalui sebuah pertemuan khusus yang khidmat. Kami berkumpul, duduk bersama, berdoa, lalu makan jagung bersama setelah mereka mempersilakan saya memperkenalkan diri. Mereka bertanya alasan kepindahan saya, menjelaskan alasan mereka bersedia menerima saya, dan mengajak saya mengobrol tentang diri saya maupun tentang Dusun Kolatuku secara umum.
     Keesokan siangnya, setelah semua warga selesai kebaktian di gereja dan makan siang, kami dikumpulkan kembali. Karena semalam tidak semua warga hadir pada pertemuan, maka Minggu siang saya diajak berkenalan dengan warga Dusun Kolatuku. Banyak orang yang hadir dan saya merasa seperti Donal Bebek di Disneyland yang diperhatikan orang-orang ke manapun saya pergi, apapun yang saya lakukan.
     Ketua Komite Sekolah mempersilakan saya memperkenalkan diri sekali lagi kepada warga dusun dan membuka kesempatan bagi warga yang ingin bertanya-tanya tentang beberapa hal yang lebih personal. Beberapa warga dengan malu-malu bertanya tentang warna favorit, makanan kesukaan, sampai status hubungan yang saya jawab dengan, “Hampir.”
     Memang, setiap kali ada orang yang bertanya, “Maaf, Ibu sudah punya calon (suami)?” saya selalu menjawab ada, meski saya 100% jomblo tidak laku. Itu karena, ketika pada satu kesempatan saya menjawab “Belum punya calon,” maka orang yang bertanya itu mulai merekomendasikan semua bujangan yang dikenalnya, mulai dari anaknya sendiri, keponakannya, kemenakan jauh, sampai anak tetangga atau saudara jauh dari tetangganya. Saya telah dipesan untuk tidak memberi peluang perjodohan semacam itu, karena tugas saya di sini mengajar dan mengadakan program kemasyarakatan. Sejak saat itu, untuk setiap pertanyaan tentang calon itu, saya selalu menjawab, “Hampir,” (hampir karatan jadi jomblo).
***
     Murid-murid saya adalah anak-anak yang ceriwis. Beda dengan murid di tempat saya yang dulu yang sangat pendiam dan pemalu. Enam bulan mengajar mereka, saya tidak mampu membuat perubahan sikap pada perilaku anak-anak tersebut.
     Murid-murid saya sangat mengagumi kulit saya yang lebih terang daripada kulit mereka dan lebih wangi daripada semua kulit yang pernah mereka baui, rambut saya yang lebih halus dan lebih lurus, tahi lalat di tangan dan kaki saya….
     Ketika siang tadi saya iseng jalan-jalan, beberapa murid melihat saya dan mengikuti saya ke mana-mana. Mereka bahkan tidak malu-malu menggenggam kedua tangan saya, berjalan beriringan bersama sama. Mereka mengoceh banyak hal, mengomentari fisik saya dengan kagum, mengajari saya beberapa kalimat dalam bahasa Kolatuku. Salah satu hal yang luar biasa dari NTT adalah banyaknya jumlah bahasa daerah yang dimiliki. Kabupaten Alor saja, kalau tidak salah ingat, memiliki 54 bahasa daerah. Itu belum termasuk bahasa daerah yang telah punah.
     Salah satu murid saya berseru heran ketika mereka membelai-belai rambut saya saat saya berbaring di bale-bale gudang di rumah yang ditempat Ani (kami tinggal di rumah orang tua angkat yang berbeda). Awalnya, mereka terheran-heran dengan rambut saya yang terasa sangat halus di tangan mereka. Ketika mereka menyibak rambut saya, mereka mulai mengoceh ribut tentang kulit kepala saya.
     “Iiii… Ibu pu kulit kepala, putih macam susu!” (Iiii… Kulit kepala Ibu putih seperti susu).
     Kemudian mereka meraba telapak kaki saya dan berkata, "Ibu pu telapak, licin." (Telapak kaki Ibu licin). Saya agak geli juga mendengar komentar tentang telapak kaki yang licin itu. Mungkin maksud mereka, telapak kaki saya halus, beda dengan telapak mereka yang lebih kasar karena mereka sering bermain tanpa alas kaki.
     Mereka juga terus-menerus mengatakan bahwa saya cantik. Huahaha… Anak-anak memang tidak pernah berbohong.
     Pada intinya, dengan segala perbandingan antara Dusun Kolatuku ini dan desa tempat saya bertugas sebelumnya, saya jauh, jauh lebih bahagia berada di sini. Saya dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan bersikap lebih terbuka pada saya. Padahal, jika dilihat dari segi tingkat pendidikan yang pernah dienyam, para orang tua di sini sama saja tingkat pendidikannya dengan orang-orang di desa saya dulu. Banyak di antara mereka yang juga tidak lulus SD, tapi mereka lebih beradab.
     Di sini, saya banyak mengobrol, banyak tertawa. Saya tidak lagi terkurung di rumah; tidak lagi merasa stress dan tertekan; tidak lagi merasa jenuh; tidak lagi merasa galau. I’m so much happier!!!

Friday, 21 February 2014

Resensi Film-Akeelah and the Bee



Judul Film          : Akeelah and the Bee
Pemain               : Keke Palmer, Laurence Fishburne, Angela Basset, Curtis Armstrong, 
                             JR  Villarreal, Sean Michael
Tahun Rilis          : 2005
Sutradara            : Doug Atchison
Rumah Produksi  : Lions Gate
 
     Akeelah Anderson (Keke Palmer), 11 tahun, merasa tidak nyaman dengan hidupnya ketika ia mulai sekolah di SMP Crenshaw. Akeelah tidak puas dengan sekolahnya yang tidak memiliki fasilitas memadai. Ia juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Sebagai wujud kekesalannya, ia jarang mengerjakan PR, sering bolos, dan acuh tak acuh terhadap teguran gurunya.
     Tapi, bukan berarti ia lantas bodoh. Akeelah pernah lompat kelas saat kelas 2 sehingga umurnya lebih muda daripada teman-teman sekelasnya. Guru kelasnya, Mrs. Cross, melaporkan pada Kepala Sekolah, Mr. Welch (Curtis Armstrong), bahwa Akeelah melakukan kesalahan dalam tes mengeja, meski ia tak belajar sebelum tes.
     Mr. Welch berusaha membujuk Akeelah untuk ikut serta dalam lomba mengeja atau Spelling Bee sehingga sekolah bisa mendapat pendanaan untuk kelangsungan proses belajar-mengajar. Dengan ancaman hukuman atas absensinya, Mr. Welch berhasil membuat Akeelah bersedia berkompetisi dalam ajang Spelling Bee melawan teman-teman sekolahnya.
     Akeelah menang dengan mudah. Seorang mantan juara nasional Spelling Bee, Dr. Larabee (Laurence Fishburne), ditunjuk menjadi pelatihnya mempersiapkan diri menghadapi kompetisi di tingkat kabupaten mewakili sekolah. Sayang, Akeelah bersikap tidak sopan sehingga Dr. Larabee tidak bersedia melatihnya.
     Meski berhasil masuk 10 besar yang akan bersaing di tingkat regional, Akeelah merasa dirinya hanya sedang beruntung. Ia sadar, ia butuh seorang pelatih untuk menghadapi lawan-lawannya nanti. Dengan ibu yang melarangnya ikut perlombaan, lawan yang sangat tangguh, dan ketiadaan seseorang yang melatihnya, Akeelah merasa tidak akan sanggup menghadapi final di tingkat regional.
     Berhasilkah ia membujuk ibunya untuk memberinya ijin mengikuti lomba? Akankah Dr. Larabee bersedia melatihnya setelah Akeelah meminta maaf? Bisakah Akeelah lolos ke final tingkat nasional dan menandingi peserta lomba lainnya, terutama Dylan Chiu, runner up selama dua tahun berturut-turut yang juga bertekad menang tahun ini?
     Film ini akan membuka mata kita, bahwa seringkali kita tidak menyadari bakat yang kita miliki. Ada pula yang mengetahui bakat yang dimiliki, tapi tidak punya, entah niat atau keberanian, untuk mengembangkan bakatnya. Takut gagal, takut mempermalukan diri sendiri, takut diejek, takut dianggap aneh, takut kalah, dan segelintir ketakutan lainnya. Film ini mengajak kita untuk berani melawan ketakutan-ketakutan tersebut. Berani berproses dan menikmati proses.

Perjalanan Baru

     Rabu dan Kamis tanggal 19-20 Februari kemarin adalah dua hari yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Bagaimanapun, efeknya masih terasa sampai hari ini. Yah, badan saya remuk redam setelah melakukan perjalanan gila-gilaan selama dua hari itu. Saya bahkan curiga pantat saya memar. Huf…
     Selasa kemarin saya mendapat panggilan dari Kepala Dinas Pendidikan Alor, Bapak Albert N. Ouwpoly. Saya dipanggil berkenaan dengan permohonan saya untuk pindah tempat tugas dari SMP Satap Tonte, Pantar Timur, Alor, ke tempat tugas baru di Kolotuku, Desa Kiraman, Kec. Alor Selatan (Alsel). Tidak sulit. Menjelang siang, saya telah mengantongi surat yang berisi SK penempatan saya yang baru.
     Saya segera bersiap dan berangkat ke Tonte keesokan harinya, Rabu, 19 Februari. Laut agak tenang, seperti biasa, sepanjang Teluk Mutiara. Mendekati Pulau Pura, permukaan laut terlihat beriak. Semakin memasuki lautan lepas, gelombang semakin besar.
     Awalnya, saya mencoba untuk tenang. Tapi, ketika saya merasakan ayunan ombak yang mengkhawatirkan, saya mulai membuka plastik besar yang membungkus pelampung saya. Tidak peduli penumpang lain di perahu motor yang saya tumpangi menertawai, saya tetap (pura-pura) kalem dan memakai pelampung warna jingga yang norak itu. Mereka mungkin saja tenang karena bisa berenang. Lha, saya paling jago renang gaya batu dan gaya dada alias gaya “melambai”, saya tidak mau bertaruh nyawa.
     Turun dari perahu motor di pelabuhan di Desa Tamakh, saya langsung naik ojek ke Tonte. Satu setengah jam yang menyiksa, melewati jalan bebatuan yang longsor, kubangan lumpur, dan jatuh 3 kali.
     Saya tidak berlama-lama di desa. Segera setelah bertukar kabar dengan Bapa Obet, saya langsung berkemas dan pamit. Kali ini, saya naik ojek orang asli Tonte yang sudah ahli bermanuver di medan berat seperti Tonte. Tapi, meski ahli, meski jago, meski tidak pernah menjatuhkan saya sedikitpun, ojek yang satu ini agak slebor. Tahu kalau dirinya expert melewati jalanan berbatu-berlumpur, dia membawa motor agak ngebut, tidak peduli saya terlempar-lempar di belakang. Alhasil, begitu turun rumah Ibu Nur di Desa Nule, saya terpaksa berjalan mengangkang karena sakit di sekujur tubuh. Saya yakin, di bawah sana, pantat saya sudah babak-belur.
     Menginap semalam di Nule, saya bertukar cerita dengan Ibu Nur, lalu mengirimkan obat titipan Ibu Desi untuk Mama Tina. Pamit dengan Mama Tina pun, kesannya kurang greget. Baik Mama Tina maupun Bapa Obet, juga warga Tonte lainnya, menanggapi kepergian saya dengan biasa-biasa saja. Bapa Obet bahkan sepertinya terlihat agak lega. Saya sadar betul, beberapa bulan belakangan ini saya telah banyak merepotkan mereka. Karena saya datang tanpa sambutan, maka saya pun pergi tanpa pamitan. Hanya pamit pada Mama dan Bapa, juga Ibu Anto yang kebetulan sedang duduk-duduk di halaman rumah ketika saya lewat di depan rumahnya untuk melanjutkan perjalanan.
     Kamis pagi, saya telah duduk di perahu motor yang akan membawa saya kembali ke Kalabahi, ibukota Kabupaten Alor. Perahu motor ini membawa saya pada mimpi paling buruk yang saya alami.
Sejak sebelum berangkat, saya telah mengamati cuaca. Langit mendung, sesekali gerimis; lautan beriak lebih keras daripada bulan-bulan sebelumnya ketika kami belum memasuki musim hujan. Tidak sampai satu jam kemudian, saya berpengangan erat-erat pada tiang kapal karena kapal yang miring tajam ke kanan dan ke kiri. Angin bertiup kencang dan wajah saya sesekali terpercik buih ombak maupun rintik gerimis.
     Lagi-lagi, dengan muka pura-pura kalem dan tenang, saya mulai membuka plastik pembungkus pelampung. Tidak peduli beberapa bapak yang juga menumpang perahu motor nyengir meremehkan, saya tetap memakai pelampung. Seorang ibu-ibu hamil tua adalah satu-satunya orang yang terlihat lebih takut daripada saya.
     Ia berkali-kali berteriak, “Tuhan, tolong!” atau “Yesus, tolong!” atau “Dalam nama Ibu!” atau “Ya, Bapa, tolong kami!”
     Saya makin stress mendengar teriakannya. Terutama setelah ia mulai terlihat menahan sakit di perutnya. Pastilah ini gara-gara ketakutannya yang besar, bayi yang ada di dalam perutnya juga ikut-ikutan mulas. Saya berkata dalam hati, “Gawat kalau sampai ibu ini mendadak melahirkan di sini.” Tapi, kalau memang harus demikian, saya akan mengusulkan satu nama: Johanis Laut Garang. Gagah, bukan? Biar anak itu terkenang dengan hari kelahirannya.
     Ketika keadaan mulai tenang, saya pikir ya sudah. Kami bisa bernapas lega. Ternyata, belum. Laut sepertinya tidak rela mengijinkan kami lewat sebelum ada penumpang yang muntah cairan kuning. Ada sekitar 4 titik di mana arus laut mengganas, meskipun air di sekitar titik itu tenang. Maka, tidak salah jika saya memutuskan untuk minum sebutir obat anti mabuk sebelum naik perahu motor untuk berjaga-jaga.
     Akhirnya, setelah perjalanan gila-gilaan itu, kami merapat di pelabuhan Kalabahi. Pucat, lesu, dan gemetar, tapi sepenuhnya bersyukur masih bisa bernapas dan menceritakan pengalaman tersebut. Daaaaaannnnnn… besok pagi buta, saya akan memulai perjalanan panjang yang tak kalah seru ke tempat tugas baru saya, SD Negeri Kolotuku, Kiraman, Alor Selatan! Yay!!!

The Chaos

     Ah, ya. Saya lupa bercerita, bahwa saya mengajar di Pantar Timur, Alor, sebagai guru bantu. Sejak mengajar bulan September tahun lalu, saya mendapat kesan yang kurang positif dari masyarakat.
     Ketika saya baru tiba, tidak ada sambutan dari masyarakat. Desa bahkan terlihat sepi-sepi saja, adem-ayem, ketika saya datang. Saya sejatinya berusaha untuk tidak menetapkan standar, sambutan macam apa yang saya harapkan dari penduduk desa, karena saya memang bukan pahlawan perang yang baru kembali dari medan tempur membawa kemenangan. Tapi, sulit sekali untuk tidak iri mendengar teman-teman saya bercerita, betapa hebohnya sambutan yang ia dapatkan ketika tiba di desa tempat tugas masing-masing. Ada yang disambut dengan Tari Lego-Lego khas Alor; ada yang langsung diajak berkeliling desa untuk berkenalan dengan seluruh penduduk; ada pula yang bahkan langsung diminta untuk memberikan presentasi program kerja di gereja atau balai desa dengan seluruh penduduk hadir di sana.
     Bagaimana dengan saya? Ketika baru datang, saya langsung ke rumah satu warga yang akan saya tumpangi selama menjalankan tugas dinas, berkenalan dengan pemilik rumah yang akan menjadi orang tua asuh saya, setelah itu… tidur siang. Serius.
     Saya sempat bingung ketika Bapa Obet, bapa angkat saya, pamit ke desa di kaki gunung, Desa Nule, untuk melanjutkan proses pembangunan rumah baru di sana, Mama Tina masuk ke kamar, begitu pula dengan Ibu Jaco, Kepala Sekolah SMP Satap Tonte yang menjadi atas saya.
     “Ibu, sekarang kita, ngapain?” tanya saya.
     “Kita istirahat sudah,” jawab Ibu Jaco sambil menunjuk kamar yang bisa saya tempati.
     Saya bengong. Serius, nih? Tidak berkenalan dengan Ketua Suku atau Ketua Adat? Tidak lapor diri ke Kepala Desa? Tidak berkenalan dengan para Tetua Desa? Hanya begini saja?
***
     Nah, sudah hampir 6 bulan saya bertugas di sini, saya tidak pernah bisa betul-betul tenang dalam menjalankan tugas. Bulan Oktober, Ibu Rodi berencana memperbaiki satu asrama guru di sebelah sekolah agar bisa saya tempati bersama Ibu Jaco, karena seperti halnya saya, Ibu Jaco bukan warga asli Desa Tonte, melainkan warga Desa Adiabang, desa di daerah pesisir, di bawah Tonte.
     Proses perbaikan asrama guru baru sebatas menyemen lantai, ketika suatu pagi sebuah papan terpasang di tiga titik di wilayah asrama guru. Ketiga-tiganya bernada sama: tanah itu milik seseorang bernama Johanis Weni; asrama harus dibongkar sebelum si Johanis Weni ini datang. Saya yang tidak merasa melakukan apa-apa, diam-diam saja. Kalau Ibu Rodi memaksa saya untuk tinggal di asrama itu, barulah saya mulai cemas. Saya sendiri tidak berminat tinggal di asrama karena takut berada di rumah itu sendirian pada malam hari, terutama bila Ibu Jaco ada panggilan ke kota selama beberapa hari.
     Sejak hari itu, para guru tidak hanya pusing memikirkan murid-murid SMP yang beberapa belum bisa membaca, murid kelas 6 SD yang akan menghadapi Ujian Nasional dengan kondisi kekurangan buku dan tidak punya strategi khusus agar lolos UN, absensi murid-murid lain yang sering mencapai sebulan lamanya, dan fasilitas sekolah yang tak kunjung bertambah dari tahun ke tahun. Kami mulai direpotkan oleh beberapa oknum yang melakukan pengerusakan di sekolah, hingga puncaknya merusak salah satu pintu rumah Ibu Rodi dengan parang dalam keadaan mabuk.
     Bulan Nopember tahun lalu, saya menganggur di kota selama sebulan penuh demi menunggu informasi bahwa situasi desa telah aman dan kami bisa melanjutkan tugas sebagaimana mestinya. Pada awal Desember, saya kembali, tapi tidak sampai seminggu, ada orang lain lagi yang membuat kerusuhan. Bapa Obet khawatir dengan keselamatan saya. Sejak saya kembali, saya baru tahu bahwa guru-guru lain tidak ada yang berani mengajar. Sebagai satu-satunya guru SMP di sekolah, saya berusaha memastikan proses belajar-mengajar tetap berlangsung.
     Seminggu kami ngebut belajar, mencoba membahas sisa materi yang belum dipelajari. Minggu berikutnya, kami memasuki masa Ulangan Semester. Ulangan saya adakan di ruang tamu rumah. Untungnya murid saya hanya sekitar 10 orang, sehingga ruangan kecil itu cukup untuk menampung mereka semua. Dua kali sehari, pagi-sore, murid saya datang untuk mengerjakan dua ulangan sekaligus. Dalam waktu 3 hari, kami telah menuntaskan Ulangan Semester Pertama.
     Tapi, saya hampir-hampir menangis melihat hasil ulangan mereka. Serius. Hanya satu orang yang berhasil meraih skor 6 pada satu mata pelajaran, sisanya hanya berkisar 1-4 di semua mata pelajaran.
     Yang paling membuat saya miris adalah satu orang murid saya yang menjawab soal ulangan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan jawaban-jawaban ngaco seperti berikut:
1.      Cobalah sebutkan sampah di sekitar kalian! Termasuk jenis sampah apakah itu?
Saya setiap hari bantu saya pu mama pi pasar.
2.      Bagaimanakah caramu mengelola sampah-sampah tersebut?
Saya setiap hari bantu saya pu mama sapu ruma. (perhatikan, kata “rumah” ditulis tanpa huruf “h”)
3.      Apa dampak negatif yang akan timbul bila sampah-sampah di tempat tinggalmu tidak dikelola dengan baik?
Saya setiap hari buat kerja ruma.

Begitu seterusnya sampai pertanyaan nomor 10:
10.  Apa yang dapat kita lakukan bila air tercemar?
Saya setiap hari memasak di dapur.

     Jungkir-balik saya mengajar mereka, memastikan setiap detil kecil telah masuk ke otak mereka. Saya gagal. Meski demikian, saya tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki chaos tersebut. Tanpa ada Kepala Sekolah di desa, saya tidak merasa aman. Keberadaannya sendiri sejujurnya tidak membantu meringankan beban mental yang saya rasakan. Karenanya, saya cepat-cepat mengungsi ke kota, mengamankan diri.
     Saya pikir, berlibur seminggu di kota, jauh dari ketegangan di sekolah, akan membuat pikiran saya segar kembali. Saya siap kembali tanggal 4 Januari, dua hari sebelum semester genap dimulai, ketika Kepala Sekolah menelepon saya. Kepala Sekolah dan Ibu Rodi ngotot ingin minta file foto sekolah untuk dibawa ke pengadilan.
     Saya berusaha menjelaskan, foto yang saya ambil tidak memberikan gambaran yang cukup tentang keadaan sekolah dan akan sia-sia jika kami menunjukkan foto-foto tersebut pada polisi. Pintu-pintu sekolah sebenarnya hanya dijejali dengan batang tanaman yang dipotong sembarang. Pintu rumah Ibu Rodi hanya berlubang sedikit akibat ditusuk parang dan pagar tanaman yang ia buat reyot setelah diamuk oknum yang menuntut pengembalian tanah sekolah itu. Betapapun menakutkannya kejadian ketika orang itu mengamuk, bukti fisik berupa foto yang saya ambil tidak bisa menjadi bukti yang kuat.
     Karena mereka membandel dan menolak mempertimbangkan penjelasan saya, saya memberikan flashdisk berisi file foto-foto tersebut tanpa berharap banyak hal itu akan membantu menyelesaikan masalah ini. Kepala Sekolah juga mengatakan, bahwa guru-guru yang sudah terlanjur ke kota disarankan untuk tidak kembali ke sekolah sampai situasi aman, selain untuk memudahkan komunikasi karena di desa Tonte jaringan telepon seluler masih belum kuat.
     Sebulan lebih, nyaris dua bulan malah, saya diam di kota. Saya tidak lagi tinggal di rumah Kepala Sekolah di Kadelang karena merasa tidak nyaman. Selama hampir dua bulan itu saya tinggal di Lanbo, di rumah salah satu kepala sekolah yang menampung teman saya. Orang tua asuh teman saya ini sangat baik dan langsung menganggap saya anak mereka, terutama Bapak Kepala Sekolah. Setelah berminggu-minggu hidup tanpa kepastian, suatu hari saya terbangun dengan sebuah keputusan di kepala: saya harus pindah.
     Saya segera mengontak salah satu teman dan menanyakan “lowongan kerja” di tempat tugasnya. Dia bergerak cepat. Dengan segera, teman saya ini telah menghubungi kepala sekolah tempat ia bertugas dan mengatur agar saya bisa bertemu dengan atasannya. Dalam waktu seminggu, saya mendapat kepastian dan Surat Keputusan baru: saya akan pindah tugas ke Kolotuku, Desa Kiraman, Kec. Alsel (Alor Selatan).